Tuesday, July 31, 2012

Teori Marxis


 Alih bahasa dari buku yang berjudul "Critical Theory Today" karya Lois Tyson.



Apakah pendekatan Marxis masih relevan dengan kondisi yang ada pada saat ini? Bukankan Blok Komunis di Eropa telah runtuh? Dengan demikian Marxisme sudah tidak berlaku lagi. Tanpa mengikutsertakan Cina sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia dan masih konsisten dalam menjalankan sistem pemerintahan komunis, dua pertanyaan di atas sepertinya telah menafikan dua fakta penting. Pertama, selain komunitas yang relatif kecil dan berumur relatif singkat, sejauh yang kita ketahui bahwa masyarakat Marxis yang sesungguhnya belum pernah terbentuk di muka bumi ini. Masyarakat komunis, meskipun mereka mengklaim bahwa prinsip-prinsip yang digunakan didasarkan pada teori Karl Marx (1818-1883), pada kenyataannya tetap mempraktekan sistem oligarki dimana pemerintahan dilakukan oleh sekelompok kecil yang memiliki wewenang dalam mengatur keuangan dan senjata, serta memaksakan kebijakan-kebijakan kepada masyarakat dan melakukan kekerasan fisik dalam mejalankan fungsi kepatuhannya. Dan yang kedua, meskipun ketika masyarakat Marxis memang benar-benar terbentuk di negara-negara yang menjalankan paham komunis, dan saat ini tatanan dalam masyarakat Marxis sudah tidak berlaku lagi, teori Marxis akan tetap menjadi khazanah keilmuan tertentu yang akan memperkaya cara pandang kita dalam memahami sejarah dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada saat ini. Teori Marxis dapat digunakan untuk menginterpretasi kegagalan rezim komunis. Bagaimanapun, sebelum melakukan interpretasi dengan menggunakan pendekatan Marxis terhadap serangkaian kejadian politik atau peristiwa apapun, kita tentunya harus memahami apa yang dimaksud dengan teori Marxis itu sendiri.  


Premis-premis fundamental Marxisme

Sebenarnya apa yang disebut dengan teori Marxis? Mari kita coba menjawab pertanyaan tersebut dengan menjawab pertanyaan lainnya: apa yang akan dikatakan para kritikus Marxis mengenai pendekatan psikoanalisis (lihat pembahasan sebelumnya "Pendekatan Psikoanalisis")? Kemungkinan mereka akan mengatakan bahwa dengan memusatkan perhatian kita terhadap kondisi kejiwaan dan elemen-elemen yang membentuk struktur kepribadian seseorang, seperti misalnya permasalahan-permasalahan yang terjadi di keluarga, psikoanalisa telah mengalihkan perhatian kita dari dorongan/kekuatan nyata yang membentuk pengalaman manusia yaitu sistem ekonomi dalam masyarakat. Pernyataan tersebut pun akan berlaku untuk teori-teori lainnya. Apabila sebuah teori tidak mengedepankan realita-realita ekonomi, maka teori tersebut telah mengartikan kebudayaan manusia dengan tidak tepat. Bagi Marxisme, meraih dan mempertahankan kekuasaan ekonomi merupakan motif dari seluruh aktivitas sosial dan politik, termasuk pendidikan, filosofi, agama, pemerintahan, seni, ilmu pengetahuan, teknologi, media, dan seterusnya. Dengan demikian, ekonomi merupakan dasar dimana superstruktur dari realtitas sosial/politik/ideologi terbangun. Kekuatan ekonomi pun berdampak pada kekuasaan sosial dan polik, sehingga belakangan ini istilah kelas sosio-ekonomi (socioeconomic class) lebih sering digunakan menggantikan istilah kelas ekonomi dalam pembahasan-pembahasan mengenai struktur kelas.
 
Dalam terminologi Marxis, kondisi ekonomi adalah keadaan materi, dan suasana sosial/politik/ideologi yang muncul dari kondisi materi, dan disebut sebagai situasi historis. Bagi para kritikus Marxis, baik peristiwa yang dialami oleh manusia (dalam domain politik atau pribadi) maupun hasil karya manusia (mulai dari kapal selam nuklir hingga tayangan televisi) tidak dapat dimengerti tanpa pemahaman terlebih dahulu mengenai kondisi materi/historis dimana peristiwa tersebut muncul dan karya-karya tersebut lahir. Dengan demikian, terdapat penyebab materi/historis atas semua peristiwa yang dialami manusia dan karya-karya yang dihasilkan. Gambaran yang akurat mengenai seluk-beluk kehidupan manusia dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya tidak dapat diperoleh melalui pencarian sesuatu yang abstrak, nilai dan prinsip-prinsip abadi, tetapi hanya bisa didapatkan dengan memahami kondisi nyata yang ada/yang terjadi di muka bumi ini. Oleh karena itu, analisis Maxis terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia termasuk karya-karya yang dihasilkan menitikberatkan pada hubungan antar kelas sosio-ekonomi, baik yang terbentuk di dalam masyarakat maupun antar masyarakat, dan hubungan tersebut menjelaskan seluruh kegiatan manusia dalam hal distribusi dan dinamika kekuasaan ekonomi. Praksis atau metode Marxis menyatakan bahwa ide-ide teoritis memiliki nilai ketika bisa diaplikasikan secara nyata, atau dalam kata lain diterapkan dalam dunia nyata.


Dari sudut pandang Marxis, perbedaan dalam kelas sosio-ekonomi jauh lebih penting dari perbedaan dalam agama, ras, etnis, atau gender, yaitu perbedaan antara "si kaya" dan "si miskin", perbedaan antara kaum borjuis – mereka yang menguasai kekayaan alam, ekonomi, dan sumber daya manusia serta kaum proletar – masyarakat kebanyakan yang hidup dalam kondisi di bawah standar, umumnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar/manual mulai dari pekerja tambang, buruh pabrik, penggali parit, membuat jalan raya – pekerjaan yang hanya akan menambah pundi-pundi kekayaan bagi kalangan borjuis. Sayangnya, proletariat sendiri adalah yang terakhir dalam menyadari fakta tersebut. Beberapa penganut paham Marxis percaya, sebagaimana yang diyakini oleh Karl Marx, bahwa suatu hari kaum proletar akan secara spontan membangun kesadaran kelas untuk bangkit, melakukan revolusi untuk melawan para penindas (borjuis), dan menciptakan sebuah masyarakat tanpa kelas. Bagaimanapun, ketika kaum proletar di negara tertentu manapun telah bertindak sebagai sebuah kelompok, terlepas dari keragaman yang ada di dalamnya (misalnya terlepas apakah mereka memberikan suara pada kandidat politik yang sama, memboikot perusahaan yang sama, atau melakukan pemogokan sampai kebutuhan mereka terpenuhi), akan terjadi perubahan radikal pada struktur kekuatan yang ada pada saat ini.

Sistem Kelas di Amerika

Di Amerika Serikat, saat ini semakin sulit untuk menggolongkan seseorang secara jelas apakah ia termasuk ke dalam kelas borjuis atau proletar. Seseorang yang menjalankan bisnis keluarga skala kecil dan mempekerjakan beberapa pegawai bisa saja memperoleh keuntungan usaha dengan jumlah yang lebih sedikit dari pendapatan per-tahun seorang pegawai pemasaran di suatu perusahaan besar. Dengan kata lain, di Amerika (dan negara-negara modern lain pada umumnya) setidaknya beberapa pegawai/pekerja dapat menghasilkan jumlah pendapatan yang lebih besar dari pemilik usaha. Oleh karena itu, akan lebih mudah jika menggolongkan kelas sosio-ekonomi masyarakat Amerika berdasarkan gaya hidup yang mereka jalani tanpa mempermasalahkan bagaimana cara mereka memperoleh uang (bekerja atau mengelola bisnis). Untuk lebih jelasnya, mari kita buat peta sederhana mengenai pembagian kelas sosio-ekonomi masyarakat Amerika modern.

Terlepas dari kita setuju atau tidak mengenai individu-individu mana saja dapat dikategorikan sebagai kaum borjuis atau proletar, sebagian besar kita akan melihat perbedaan mencolok dalam kelas sosio-ekonomi dan gaya hidup diantara kelompok-kelompok masyarakat berikut ini: tuna wisma, mereka yang hanya memiliki sedikit harta benda (apabila ada) dan sedikit harapan untuk menuju perubahan yang lebih baik; orang miskin, mereka pada umumnya hanya memiliki akses pendidikan dan peluang karir yang terbatas, sehingga mereka harus terus berjuang untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan hidup dalam ketakukan akan kehilangan tempat tinggal dan berakhir menjadi tuna wisma; masyarakat yang mapan secara finansial yaitu mereka yang memiliki tempat tinggal nyaman, kendaraan, dan mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke jenjang perguruan tinggi; orang kaya adalah mereka yang mampu membeli dua rumah atau lebih, beberapa kendaraan, dan barang-barang mewah; dan masyarakat yang tergolong sangat kaya biasanya terdiri dari para pemilik perusahaan besar yang mapan, memiliki rumah mewah dan luas, limosin, pesawat terbang dan kapal pesiar pribadi, kelompok masyarakat ini tidak pernah memiliki permasalahan apapun yang terkait dengan keuangan. Secara sederhana kelima kondisi sosiso-ekonomi tersebut biasa dikenal dengan istilah masyarakat kelas terendah, kelas bawah, kelas menengah, kelas atas, dan "aristokrasi."

Sangatlah jelas bahwa anggota masyarakat kelas bawah tertindas secara ekonomi: mereka terbelit dengan berbagai permasalahan ekonomi dan terkena dampak terberat atas resesi ekonomi, serta hanya memiliki sarana terbatas untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka. Sebaliknya, anggota dari masyarakat kelas atas dan "aristokrasi" menikmati keistimewaan-keistimewaan ekonomi: mereka menjalani gaya hidup mewah, hampir tidak terpengaruh dengan resesi ekonomi, serta menyimpan persediaan keuangan yang sangat banyak. Tapi bagaimana dengan anggota masyarakat kelas menengah? Apakah mereka mengalami penindasan ekonomi atau malah mendapatkan keistimewaan secara ekonomi? Tentu saja jawabannya adalah keduanya. Gaya hidup dan kondisi sosiso-ekonomi masyarakat kelas menengah tentunya lebih baik dari masyarakat kelas bawah, hanya saja mereka tidak mampu untuk membeli rumah mewah berukuran besar; mereka memiliki stabilitas finansial yang lebih baik jika dibandingkan dengan masyarakat kelas bawah, meski mereka pun kadang kala turut merasakan dampak resesi ekonomi dan dihantui kekhawatiran yang beralasan atas kondisi finansial mereka di masa yang akan datang; mereka diuntungkan dari bentuk-bentuk jaringan pengaman ekonomi seperti asuransi medis dan rencana-rencana pensiun, namun mereka pun harus membayar pajak dalam jumlah yang besar (dimana sebagian diantaranya merasa bahwa hal tersebut tidak adil).

Lalu mengapa kaum yang tertindas tidak melakukan perlawanan balik? Apa yang membuat masyarakat kelas bawah bertahan di posisi mereka dan terus berharap pada belas kasihan orang kaya? Untuk kaum miskin dan tuna wisma di Amerika pada saat ini, perjuangan mereka untuk bertahan hidup adalah faktor yang membuat mereka tetap berada dalam keterpurukan. Seseorang yang terus berjuang hanya untuk bertahan hidup atau berusaha agar anak-anaknya tetap makan, tentunya tidak memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan politik atau bahkan memiliki kesadaran politik. Elemen lainnya yang memperburuk nasib para proletar adalah aparat dan para petugas yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah. Di bawah instruksi dari pemerintah mereka seringkali bertindak kasar dan menganiaya masyarakat kelas bawah, orang miskin dianggap sebagai ancaman terhadap struktur kekuasaan, misalnya saja para aktivis serikat buruh seringkali ditangkap, dipukuli, atau bahkan dibunuh, atau beberapa tahun lalu para tuna wisma digusur dari rumah karton mereka yang terletak di Central Park, New York. Hunian kumuh mereka dianggap mengganggu pemandangan apabila dilihat dari kaca jendela apartemen-apartemen mewah yang berdiri tegak di sekitar taman kota tersebut. Penindasan terhadap masyarakat miskin pun bahkan masih terus berlanjut yaitu melalui ideologi.

Peran Ideologi


Bagi Marxisme, ideologi merupakan sebuah sistem keyakinan, dan seluruh sistem keyakinan merupakan produk dari pengkondisian budaya. Contohnya, kapitalisme, komunisme, Marxisme, patriotisme, agama, kode etik, humanisme, dan astrologi, semuanya adalah ideologi. Teori-teori sastra pun merupakan ideologi. Bahkan pemahaman kita terhadap pengetahuan mengenai perilaku alam adalah ideologi. Tetapi, meskipun hampir keseluruhan ilmu pengetahuan dapat kita asumsikan memiliki komponen ideologis, tidak seluruh ideologi memiliki produktivitas yang sama atau dapat diterima begitu saja. Ideologi-ideologi yang tidak diharapkan biasanya memicu agenda politik represif, disamarkan sebagai cara alami dalam memandang dunia alih-alih ditampilkan secara nyata sebagai ideologi untuk memastikan bahwa ideologi-ideologi tersebut diterima oleh khalayak. "Suatu hal yang wajar apabila laki-laki berada di pucuk pimpinan karena secara biologis laki-laki memang lebih unggul, sehingga secara fisik, intelektual, dan emosional laki-laki dianggap lebih mampu daripada perempuan." Ungkapan tersebut merupakan ideologi seksis yang disamarkan menjadi pandangan alamiah alih-alih sebagai produk keyakinan budaya. "Setiap keluarga ingin memilki sebuah rumah dan sebidang tanah" merupakan ideologi kapitalis. Keyakinan tersebut pun dibenarkan oleh sebagian besar masyarakat Amerika tanpa menyadari bahwa keinginan untuk memiliki sebidang tanah tersebut lahir dalam balutan budaya kapitalis, budaya yang melingkupi kehidupan sehari-hari masyarakat Amerika (dan sebagian besar masyarakat dunia lainnya pada era sekarang ini). Sebaliknya, penduduk asli Benua Amerika (Suku Indian) justru mempertanyakan keyakinan tersebut, bagaimana mungkin sebidang tanah bisa dimiliki? Bagi mereka, hal tersebut sama saja seperti mencoba memiliki udara yang kita hirup.

Dengan disamarkan menjadi sebuah kewajaran, ideologi represif menjadi sulit untuk dipahami sebagai dampak dari kondisi materi/historis, karena sebagian besar dari kita mungkin tidak menyadari bahwa ideologi-ideologi represif tersebut lahir dari sebuah kondisi materi/historis dan kemudian terkait erat dengan cara kita memandang dunia. Marxisme mengakui dirinya sebagai sebuah ideologi, dan mengupayakan agar kita menyadari bahwa seluruh cara pandang kita merupakan produk dari kondisi materi/historis, dimana ideologi represif seringkali membutakan kita dari fakta tersebut dan memaksa kita untuk tunduk kepada sistem kekuasaan yang berfondasikan ideologi represif tersebut. Meskipun para pakar Marxis mempunyai pendapat yang beragam mengenai sejauh mana seseorang bisa "terprogram" oleh suatu ideologi, tetapi seluruhnya sepakat bahwa sebuah ideologi dikatakan benar-benar berhasil apabila tidak dirasa lagi sebagai ideologi melainkan dianggap sebagai cara pikir alami dalam memandang dunia, khususnya oleh pihak-pihak yang beracuan pada ideologi tersebut. Dengan demikian, meskipun sebagian pihak berpendapat bahwa kepentingan ekonomi masyarakat kelas menengah di Amerika akan lebih baik apabila dikelola dalam aliansi politik bersama dengan masyarakat miskin dalam rangka memastikan distribusi ekonomi yang lebih berimbang antara masyarakat kelas bawah dan menengah, tetapi dalam beberapa kepentingan politik, masyarakat kelas menengah seringkali lebih berpihak pada masyarakat kelas atas.

Salah satu contoh sederhanya adalah, masyarakat kelas menengah cenderung tidak senang kepada kaum miskin karena uang pajak yang mereka bayarkan akan digunakan untuk mendanai program pemerintah yaitu membantu masyarakat miskin. Bagaimanapun, masyarakat kelas menengah telah gagal memahami dua realitas penting yaitu: (1) posisi-posisi kekuasaan diduduki oleh orang kaya, dan merekalah yang memutuskan kemana uang-uang pajak tersebut akan disalurkan (dengan kata lain, masyarakat kelas ataslah yang telah membuat masyarakat kelas menengah menyokong kehidupan masyarakat kelas bawah), dan (2) masyarakat miskin hanya menerima sebagian kecil dana yang pada awalnya dialokasikan bagi mereka, karena sebagian besar uang pajak ternyata masuk kembali ke kantong orang kaya melalui kecurangan-kecurangan (suap, kecurangan dalam pembukuan) sebagai pihak yang mengendalikan pelayanan sosial dan mengelola karyawan-karyawan kelas menengah. Lalu ideologi apakah yang telah membutakan masyarakat kelas menengah Amerika modern (dan masyarakat-masyarakat kelas menengah di negara maju lainnya, atau negara-negara dengan kondisi ekonomi serupa dengan Amerika) sehingga mereka tidak menyadari akan ketidakadilan sosial ekonomi yang terjadi pada saat ini? Sebagian besar masyarakat kelas menengah telah dibutakan oleh keyakinan mereka tentang upaya dalam mengejar mimpi dan memaknai harapan, atau di Amerika sendiri khususnya dikenal dengan istilah "American dream," dimana keberhasilan (finansial) merupakan buah dari inisiatif dan kerja keras. Maka dari itu, apabila seseorang tergolong ke dalam masyarakat miskin, hal tersebut tiada lain disebabkan karena orang tersebut kurang berupaya atau malas.

Di Amerika, merupakan suatu hal yang lumrah apabila seseorang menginginkan rumah yang lebih nyaman, pakaian yang lebih bagus, dan seterusnya. Kata "lebih" disini tidak hanya mengacu pada sesuatu yang lebih baik dari yang pernah dimiliki sebelumnya, tetapi juga lebih dari yang dimiliki orang lain. Masyarakat Amerika meyakini bahwa "berkompetisi" adalah suatu keharusan dan keinginan untuk menjadi unggul adalah sebuah kewajaran. Lagipula, bukankan hukum alam pun mengajarkan hal yang serupa? "Yang kuat akan bertahan!" Dan bukankan pandangan tersebut sangat sesuai dengan semangat individualisme yang berkembang di Amerika? Tanpa semangat individualisme tersebut, Amerika mungkin tidak akan tumbuh menjadi negara besar seperti yang ada pada saat ini.

Sementara pandangan mengenai upaya manusia tersebut tampak wajar dan benar, dan kita tentunya dapat mengambil contoh orang-orang yang telah berhasil karena kerja kerasnya masing-masing, analisis Marxis tetap memandang bahwa budaya kompetisi dan upaya individu (baca American dream) sebagai suatu ideologi, sistem keyakinan, bukan cara alami dalam memandang dunia. Dan seperti ideologi-ideologi lainnya yang mendukung ketidakadilan sosial ekonomi – yaitu sarana-sarana produksi (sumber daya alam, finansial dan manusia) dikuasai oleh pihak swasta dan pihak-pihak yang memiliki sarana produksi tersebut menduduki kelas masyarakat dominan – American dream telah membutakan masyarakat Amerika terhadap tragedi kegagalan moral baik yang terjadi di masa lampau maupun saat ini: genosida/pembunuhan masal terhadap penduduk asli Amerika, perbudakan terhadap bangsa Afrika, perlakuan kasar terhadap masyarakat pendatang, jurang pemisah yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin, semakin bertambahnya jumlah penduduk tuna wisma, dan seterusnya. Dengan kata lain keberhasilan American dream hanya akan dinikmati oleh segelintir orang dan menciptakan kesengsaraan bagi masyarakat kebanyakan. Dan disanalah kekuatan ideologi tersebut memainkan peran, keyakinan tentang kewajaran dan keadilan dalam upaya meraih mimpi telah membutakan masyarakat mengenai realitas keras di balik keyakinan tersebut.

 Sebagian dari kita mungkin ingin menginterupsi dan bertanya, "Bukankah kalau mau berhasil memang harus bekerja-keras? Meskipun dalam prakteknya konsep tersebut kadangkala tidak selalu benar, tapi bukankah kita sebaiknya terus berusaha hingga berhasil?" Bagi Marxisme, ketika sebuah konsep berfungsi untuk menutupi kegagalannya tersediri, maka dapat dikategorikan sebuah konsep palsu, atau kesadaran palsu yang mana tujuan utamanya adalah mendukung kepentingan pihak-pihak yang berkuasa. Dalam kasus American dream, pertanyaan untuk analisis Marxisnya adalah, "Bagaimana caranya sehingga hampir seluruh masyarakat Amerika mendukung konsep American dream, bahkan oleh mereka yang gagal mewujudkan harapan tersebut, dan bagaimana konsep tersebut sebenarnya hanya mendukung kepentingan pihak-pihak yang berkuasa?"

American dream serupa dengan lotere dimana setiap orang memiliki peluang untuk menang, dan selayaknya kecanduan judi pada umumnya, masyarakat berpegang teguh pada kemungkinan menang tersebut. Pada faktanya, ketika kondisi finansial kita semakin lemah, maka akan semakin besar kita berharap untuk menang. Konsep American dream pun memperdengarkan apa yang ingin didengar oleh masyarakat: setiap orang memiliki peluang yang sama tanpa melihat latar belakang sosialnya apakah dari keluarga miskin atau kaya. Tidak peduli apakah orang kaya pun sependapat dengan hal tersebut, yang terpenting adalah keyakinan diri kita sendiri. Keyakinan ini pun termasuk dengan tidak mempermasalahkan bahwa orang kaya mendapat layanan kesehatan terbaik, memiliki kenyamanan materi, hak sosial yang lebih, dan keistimewaan-keistimewaan lainnya. Setiap orang perlu merasa baik akan dirinya sendiri, terutama ketika kehidupan tidak terlalu bersahabat dikarenakan beban permasalahan keuangan mislnya, maka sebagian besar orang akan semakin tertarik pada konsep pemuasan ego yang ditawarkan oleh American dream (setiap orang memiliki peluang yang sama). Sebalikya, American dream pun menghindarkan para orang kaya dari rasa bersalah ketika mereka dapat menikmati gaya hidup mewah dan mapan sementara begitu banyak saudara sebangsa lainnya hidup dalam himpitan kemiskinan. Konsep American dream mengajarkan pada orang kaya bahwa mereka layak atas kemewahan yang mereka miliki sebagai buah dari upaya yang mereka lakukan. Dengan demikian konsep yang ditawarkan American dream telah menutupi realita materi/historis dan berhasil menginspirasi hampir seluruh masyarakat Amerika dari berbagai kalangan kelas sosial ekonomi.

Menurut sudut pandang Marxis, ideologi memainkan peranan penting dalam menjaga eksistensi pihak-pihak yang berkusa. Berikut ini adalah beberapa contoh untuk memperkuat perspektif tersebut. Classism (diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan kelas sosial) adalah ideologi yang memandang bahwa nilai seseorang ditentukan berdasarkan kelas sosialnya: semakin tinggi kelas sosial seseorang maka ia akan semakin baik, hal ini pun biasanya diakaitkan dengan keturunan. Dalam sudut pandang para fanatisme strata sosial, orang-orang yang berada dalam skala sosial lebih tinggi secara alaminya akan lebih superior, terpelajar, beretika, dan seterusnya. Sebaliknya, orang-orang yang berasal dari kalangan bawah alaminya adalah individu yang pemalas dan tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, merupakan suatu kewajaran ketika posisi kepemimpinan/kekuasaan diduduki oleh individu-individu kelas atas karena mereka memang terlahir untuk menjadi pemimpin, dan satunya-satunya yang pantas dan bisa dipercaya untuk memiliki kekuasaan.

Patriotisme adalah ideologi yang membuat rakyat miskin berperang melawan rakyat miskin dari negara lainnya (uang dan kedudukan sosial seringkali membuat seseorang terbebas dari tugas berperang), sementara kaum borjuis dari kedua negara yang bertikai meraup keuntungan dari masa perang ekonmi. Patriotisme menumbuhkan semangat pada diri kaum miskin sebagai bagian dari suatu negara dan terpisah dari negara lainnya, alih-alih sebagai kaum tertindas dunia dan melawan masyarakat kelas istimewa, termasuk yang berasal dari negara mereka sendiri. Patriotisme mencegah para kaum miskin untuk bersatu dan memperbaiki kondisi sosial ekonomi mereka dalam skala global.

Agama, yang disebut oleh Karl Marx sebagai "candu bagi masyarakat," adalah ideologi yang membuat seseorang merasa puas dengan kondisi miskin yang ia alami, atau setidaknya bersikap toleran terhadap himpitan ekonomi yang dihadapi, serupa dengan kinerja obat penenang. Pertanyaan mengenai keberadaan Tuhan bukanlah permasalahan mendasar dalam analisis Marxis, melainkan yang menjadi fokus utamanya adalah tindalan terorganisir apa yang dilakukan manusia atas nama Tuhan. Misalnya ketika banyak kelompok umat beragama berupaya untuk memberi makan, pakaian, tempat tinggal, dan memberikan akses pendidikan kepada masyarakat miskin dunia, ajaran agama yang disebarluaskan bersamaan dengan bantuan yang diberikan adalah keyakinan bahwa dengan tidak melakukan tindak kekerasan maka kaum miskin tersebut pada akhirnya akan mendapatkan ganjaran pahala di surga. Sangat jelas bahwa sekitar 10% populasi dunia yang menguasai kurang lebih 90% kekayaan dunia memiliki kepentingan dalam mendukung penyebaran nilai-nilai agama tersebut terhadap kaum miskin.

Individualisme, yang merupakan landasan dari konsep American dream, adalah ideologi yang mempromosikan upaya masing-masing individu dalam mencapai tujuan yang tidak mudah untuk diraih, sebuah tujuan yang seringkali melibatkan resiko-resiko yang tidak siap dilalui oleh kebanyakan orang. Pada masa lalu, tujuan yang dimaksud biasanya berupa upaya pencarian emas atau barang tambang bernilai lainnya, dan sebagian besar orang harus mengorbankan nyawa mereka dalam upaya pencarian tersebut. Untuk saat ini, tujuan yang ingin dicapai biasanya melibatkan resiko usaha yang sangat besar, seseorang harus berhadapan dengan resiko kehilangan seluruh uangnya untuk mencapai tujuan yang ingin ia raih. Meskipun kemampuan untuk menaklukan semua resiko terdengar mengagumkan, para pemikir Marxis tetap memandang bahwa individualisme adalah sebuah ideologi yang syarat dengan penindasan dan kasar karena individualisme menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang lain atau bahkan keberlangsungan hidup orang banyak lainnya. Dengan hanya berfokus pada kemapanan diri sendiri, individualisme telah menghancurkan konsep kesejahteraan secara kolektif dan khususnya perbaikan hidup bagi masyarakat kelas bawah. Selain itu, individualisme pun memberikan kita ilusi bahwa kita dapat membuat keputusan kita sendiri tanpa dipengaruhi oleh ideologi apapun, yang pada faktanya kita semua dipengaruhi oleh berbagai idelogi sepanjang masa hidup kita, terlepas apakah kita menyadarinya atau tidak.

Konsumerisme adalah landasan lain dari konsep American dream. Konsumerisme adalah sebuah ideologi yang menekankan bahwa nilai seseorang ditentukan dengan apa yang mampu ia beli. Dengan demikian, konsumerisme memenuhi dua tujuan ideologis secara bersamaan: konsumerisme menciptakan ilusi bahwa saya bisa menjadi "sebaik" orang-orang kaya ketika saya dapat membeli apa yang mampu mereka beli (meskipun dengan jalan mengutang atau membayar dengan kartu kredit), dan secara tidak sadar saya terus menambah pundi-pundi kekayaan para konglomerat sebagai pihak yang memproduksi dan menjual kebutuhan kepada konsumen dan menuai keuntungan dari jumlah bunga 15-20% yang dibebankan pada tagihan kartu kredit saya.

Tentunya masih banyak lagi contoh-contoh ideologi kapitalis lainnya yang bisa kita analisis. Beberapa contoh kecil di atas hanya ditunjukan untuk menggambarkan pandangan umum teori Marxis terhadap ideologi represif. Tujuan utama pendekatan Marxis adalah untuk mengidentifikasi ideologi yang melatarbelakangi lahirnya sebuah karya budaya, seperti karya sastra, film, lukisan, musik, program televisi, iklan komersil, pendidikan, filsafat populer, agama, bentuk-bentuk hiburan, dan seterusnya, serta untuk menganilis bagaimana ideologi tersebut mendukung atau sebaliknya melemahkan sistem sosio-ekonomi (struktur kekuasaan), khususnya pda saat produksi budaya memainkan peranan penting. Ketika para penganut Marxisme meyakini bahwa seluruh fenomena sosial, dimulai dari praktek membesarkan anak hingga permasalahan-permasalahan lingkungan, adalah bagian dari produk budaya, dan budaya tidak dapat dipisahkan dari sistem sosio-ekonnomi yang melingkupinya – banyak dari mereka yang tertarik pada produksi budaya dalam lingkup yang lebih sempit, misalnya seni, musik, film, teater, sastra, dan televisi. Bagi para kritikus Marxis, budaya dalam lingkup yang lebih sempit adalah sarana menyampaikan ideologi yang paling utama, karena produk-produk budaya dalam skala kecil tersebut dapat mejangkau begitu banyak massa dalam bentuk yang tidak disadari, yaitu hiburan. Ketika kita merasa terhibur, pertahanan kita pun menurun, dan kita berada dalam kondisi yang rentan terhadap pemrograman ideologi.

Perhatikan contoh berikut ini, sebuah representasi dari seorang laki-laki tuna wisma yang muncul dalam acara komedi situasi di sebuah televisi. Laki-laki tuna wisma setiap malam tidur di halte bus, yang merupakan setting lokasi dari acara komedi situasi tersebut. Adegan berlanjut ketika si laki-laki sedang berbicara di telepon pada sebuah bilik telepon umum, kemudian tukang pos datang dan memberikan surat kepada laki-laki tersebut (terdengar suara tawa: laki-laki tuna wisma sangat sering berkeliaran di halte bus sehingga tukang pos pun mengira bahwa halte bus tersebut adalah rumahnya). Lelaki tuna wisma pun memeriksa surat-suratnya dan kemudan berkomentar dengan santai sambil menggelengkan kepala, "Andai saja kantor pos mau bekerja lebih keras dan selektif dalam menyortir surat-surat sampah ini!" (terdengar suara tawa yang lebih keras: alih-alih mengeluhkan atau menyadari kondisi sebenarnya yang ia alami, ia mengeluh tentang surat-surat sampah yang ia terima). Adegan dalam komedi tersebut kemungkinan terkesan baik-baik saja, tapi seorang kritikus Marxis akan melihat bahwa ada sebuah pesan tersirat yang mendukung kepentingan struktur kekuasaan kapitalis: "Tidak perlu khawatir terhadap para tuna wisma; mereka baik-baik saja" atau lebih parahnya, "Para tuna wisma memang biasa dan suka hidup seperti itu, dan itu memang gaya hidup mereka."

Kembali ke konsep American dream. Bagaimana kotribusi American dream terhadap gambaran kehidupan tuna wisma tersebut? Konsep American dream berkontribusi dengan mempromosikan mitos, sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa keberhasilan finansial hanya dapat diperoleh semata-mata melalui inisiatif dan kerja keras. Oleh karena itu, orang miskin sudah pasti pemalas. Secara tidak langsung, kita dipaksa untuk melupakan fakta bahwa seseorang tidak dapat memperoleh pekerjaan apabila tidak memiliki tempat tinggal (kita harus mencantumkan alamat rumah kita dalam daftar riwayat hidup ketika akan melamar pekerjaan), dan seseorang tidak akan mampu membeli sebuah rumah apabila tidak memiliki pekerjaan/penghasilan, jadi sebagian besar tuna wisma terpaksa menjalani kehidupan sebagai gelandangan dikarenakan kondisi ekonomi yang berada diluar kendali mereka, dan sebagian tuna wisma lainnya kemungkinan terpaksa hidup menggelandang karena mereka diusir dari rumah sakit jiwa, yang mana mereka sebenarnya membutuhkan pengobatan/terapi yang mahal dan tentunya tempat tinggal.

Perilaku manusia, komoditas, dan keluarga

Meskipun karya-karya Karl Marx pada umumnya berfokus pada permasalahan ekonomi, satu hal yang tidak bisa dilupakan yaitu pada masa ia menjadi mahasiswa, ia banyak mengkaji tentang psikologi sosial. Salah satu contonhnya adalah kepedulian Marx terhadap bangkitnya industrialisme pada pertengahan abad ke-19. Marx prihatin terhadap dampak dari kerja pabrik terhadap orang-orang yang dipaksa untuk menjual tenaga mereka untuk bekerja di sektor industri, menggantikan mata pencaharian mereka sebelumnya sebagai petani atau pengrajin mandiri. Karena para pekerja pabrik menghasilkan produk dalam jumlah yang besar dan beroperasi dalam sistem kerja masal, maka tidak ada salah satu produk pun yang menandakan keberadaan kontribusi dari masing-masing buruh pabrik, Marx melihat bahwa para pekerja pabrik tidak hanya terpisah dari produk yang mereka hasilkan tetapi juga upaya/kinerja yang telah mereka kerahkan, dan Marx menekankan akan adanya suatu efek yang melemahkan, atau yang ia sebut dengan istilah alienated labor (tenaga kerja terasing) pada buruh dah pada masyarakat secara keseluruhan.

Demikian pula dengan perhatian Marx terhadap bangkitnya ekonomi kapitalis, yang menjadi fokus utamanya adalah dampak-dampak kapitalisme terhadap nilai-nilai manusia. Dalam sistem ekonomi kapitalis, nilai suatu benda/objek menjadi impersonal. Nilainya diterjemahkan ke dalam moneter atau jumlah uang, dan ditentukan semata-mata berdasarkan keterkaitannya dengan pasar moneter. Yang menjadi pertanyaan utamanya adalah, ada berapa banyak orang yang akan membeli barang tersebut, dan mereka bersedia membayar berapa untuk mendapatkannya? Terlepas apakah orang-orang benar membutuhkan barang tersebut atau harga yang ditetapkan memang benar-benar layak atau sesuai. Dalam budaya Anglo-Eropa, kapitalisme muncul sebgai pengganti dari sistem ekonomi barter dimana tenaga kerja atau barang ditukar dengan tenaga kerja atau barang lainnya, tergantung pada kemampuan dan kebutuhan masing-masing individu yang terlibat dalam proses pertukaran tersebut. Para kritikus Marxis sebelumnya lebih banyak menitikberatkan tentang bagaimana ideologi ditularkan melalui budaya populer dan bekerja di dalam kehidupan emosional kita. Dengan demikian, ketertarikan Marx yang selanjutnya adalah perilaku manusia dan pengalaman.

Tentu saja pandangan Marx mengenai perilaku manusia mengikutsertakan dampak kerusakan yang disebabkan kapitalisme terhadap psikologi manusia, dan dampak-dampak kerusakan tersebut seringkali muncul dalam hubungan kita dengan komoditas. Berdasarkan Marxisme, nilai suatu komoditas tidak terletak pada apa yang dapat dilakukan komoditas tersebut (nilai kegunaan) tetapi pada jumlah uang atau komoditas lain yang dapat dijadikan sebagai sarana barter (nilai tukar), atau dalam status sosial, komoditas tersebut menandakan kedudukan pemiliknya (tanda nilai tukar). Suatu benda dapat dikategorikan sebagai komoditas apabila benda tersebut bernilai tukar. Contohnya ketika saya membaca suatu buku hanya untuk kesenangan atau menambah informasi, atau bahkan saya gunakan untuk menopang kaki meja, maka buku tersebut hanya memiliki nilai guna. Ketika saya dapat menjual buku tersebut, maka buku tersebut memiliki nilai tukar. Apabila ketika saya menggenggam buku tersebut dan membuat orang lain yang melihatnya terkesan, maka buku tersebut memiliki tanda nilai tukar.

Komodifikasi adalah tindakan menghubungkan objek/benda atau orang dengan nilai tukar atau tanda nilai tukarnya. Saya mengkomodifikasi sebuah karya seni yang saya beli sebagai investasi, yang artinya suatu hari nanti saya bermaksud untuk menjualnya dengan harga yang lebih tinggi, atau ketika saya membelinya saya ingin memberi kesan kepada orang-orang bahwa saya adalah individu yang memiliki cita rasa seni yang tinggi. Pada akhirnya, poses komodifikasi tersebut pun akan saya lakukan pada manusia, tepatnya ketika saya mencoba menjalin hubungan dengan mereka. Sekali lagi, suatu objek/benda dapat dikatakan sebagai komoditas apabila objek/benda tersebut memiliki nilai tukar atau tanda nilai tukar. Sebagian dari kita memilih pasangan hidup atau kekasih dengan mempertimbangkan seberapa banyak uang atau harta benda yang dapat mereka berikan pada kita (nilai tukar), memilih teman/sahabat dengan mempertimbangkan seberapa banyak keuntungan yang dapat kita peroleh melalui pertemanan tersebut (nilai tukar), atau kita memilih berkencan dengan seseorang untuk membuat teman-teman dan orang-orang di sekitar kita terkesan (tanda nilai tukar). Apabila hal tersebut kita lakukan, maka secara sadar atau tidak kita telah melakukan komodifikasi terhadap manusia.

Menurut perpektif Marxis, karena keberlangsungan kapitalisme tergantung pada konsumerisme, maka kapitalisme mempromosikan tanda nilai tukar sebagai cara utama dalam menghubungkan masing-masing individu dengan dunia di sekitarnya. Hal terbaik bagi para pelaku sistem ekonomi kapitalis adalah masyarakat (yang juga telah terbalut dalam budaya kapitalisme) yang merasa kurang percaya diri/resah dengan diri mereka apabila mereka tidak terlihat trendi. Dengan demikian, masyarakat akan terus terdorong untuk membeli baju baru, membeli produk kosmetik mahal, dan pergi ke salon bergengsi untuk merasa lebih baik, membuat orang-orang di sekitar terkesan, atau setidaknya tidak merasa minder dari orang lain. Dengan demikian, semakin seseorang merasa tidak nyaman dengan dirinya, maka hal tersebut akan mendorong seseorang untuk membeli atau mengkonsumsi lebih banyak kebutuhan/layanan. (Apakah gigi saya kurang putih? Haruskah saya meluruskan rambut saya? dan seterusnya). Dan karena rasa tidak aman mengenai diri sendiri dan perilaku yang selalu membanding-bandingkan diri dengan orang lain (apakah telepon genggam yang saya miliki lebih canggih dari ia punya? Apakah kulit saya sehalus kulitnya?) membuat kita membeli lebih banyak produk, persaingan yang dipromosikan dalam sistem ekonomi kapitalis tidak hanya antar perusahaan yang berniat menjual produk, tetapi juga antar individu yang merasa bahwa mereka perlu mempromosikan diri mereka sendiri untuk menjadi populer atau sukses.

 Untuk memastikan keberlangsungannya, kapitalisme terus membutuhkan pasar baru untuk menjual produk dan sumber bahan baku baru untuk menghasilkan produk tersebut. Dengan demikian, Marxisme memandang bahwa kapitalisme bertanggung jawab atas penyebaran imperialisme: dominasi militer, ekonomi dan budaya terhadap suatu negara yang dilakukan oleh negara lain demi kepentingan finansial negara yang mendominasi tanpa memperdulikan atau hanya sedikit perhatian terhadap kesejahteraan negara yang didominasi. Kendali Spanyol atas Meksiko, dominasi Inggris terhadap India, eksplotasi Belgia terhadap wilayah Kongo –Afrika, dan upaya Amerika Serikat untuk mensubordinasi/menomorduakan penduduk asli di Amerika Utara, Tengah dan Selatan adalah contoh kecil dari kegiatan-kegiatan imperialis. Ketika negara impelialis membentuk komunitas pada sebuah negara "terbelakang," maka komunitas tersebut disebut koloni. Terlepas dari klaim negara-negara imperialis yang menyatakan bahwa kendali yang mereka lakukan membawa pengaruh positif terhadap koloni-koloninya, tujuan utama sebenarnya adalah keuntungan ekonomi bagi "negara induk/negara yang mendominasi."

Dalam konteks kapitalisme, kesadaran pun dapat "dijajah." Kolonisasi kesadaran masyarakat kelas dua (masyarakat dari negara-negara berkembang/terbelakang/miskin) dilakukan dengan meyakinkan mereka untuk melihat kondisi mereka sebagaimana yang diinginkan oleh negara imperialis, misalnya menanamkan keyakinan bahwa mereka secara mental, spiritual dan budaya masih jauh tertinggal dari negara penakluk, dan kehidupan mereka akan lebih baik di bawah "bimbingan" dan "perlindungan" pemimpin baru/negara imperialis. Para pemilik budak pada era sebelum perang sipil di Amerika misalnya, para pemilik budak mencoba meyakinkan para budak Afrikanya bahwa mereka tidak beradab, tidak bertuhan dan kapanpun bisa kembali pada kanibalisme apabila tidak diawasi secara terus-menerus oleh tuan kulit putih mereka. Pada faktanya, budak-budak Afrika tersebut berasal dari kebudayaan kuno yang mana mereka memiliki berbagai macam bentuk seni, musik, agama, dan nilai-nilai etika yang dapat mereka banggakan. Upaya serupa dalam menjajah kesadaran para garis ras (keturunan dari budak-budak Afrika yang dibawa ke Amerika) berlanjut hingga abad ke-20 melalui penanaman citra buruk tentang masyarakat Amerika kulit hitam di media, pemaparan yang tidak tepat/memadai mengenai pengalaman warga Afrika-Amerika di buku-buku sejarah, dan penggambaran mengenai kehebatan dan keagungan bagsa Anglo-Saxon.

Sangat jelas bahwa perhatian Marxisme pada psikologi manusia tumpang tindih dengan pendekatan psikoanalisis: kedua teori tersebut mempelajari perilaku manusia dan motivasi psikologis. Meskipun demikian, psikoanalisa menitikberatkan pada jiwa individu dan pembentukannya di dalam keluarga, sedangkan Marxisme berfokus pada dorongan-dorongan materi/historis – politik dan ideologi dari sistem sosio-ekonomi – yang membentuk pengalaman psikologis dan perilaku individu maupun kelompok/masyarakat. Bagi Marxisme, keluarga bukanlah sumber dari identitas psikologi seseorang mengingat baik individu maupun keluarga adalah produk dari keadaan materi/historis. Keluarga secara tidak sadar membawa serta "program" budaya dalam membesarkan anak-anaknya, tetapi program tersebut sebenarnya dihasilkan oleh budaya sosio-ekonomi. Meskipun orang tua kita yang menceritakan dongeng sebelum tidur, membawa kita ke bioskop, dan orang tua kita yang membentuk moral kita, tetapi sebenarnya sistem sosial yang melatarbelakangi muncul/dibuatnya cerita/dongeng, film, dan moral, yang mana semuanya ditujukan untuk melayani kepentingan-kepentingan para pihak yang mengendalikan sistem sosial tersebut. Maka dari itu, ketika kritikus psikoanalisis meneliti konflik keluarga dan luka-luka psikologis untuk menentukan struktur perilaku manusia, para kritikus Marxis menguji perilaku manusia sebagai produk dari kekuatan ideologi yang dibawa oleh elemen-elemen budaya seperti film, busana, seni, musik, pendidikan, dan hukum. Selain itu, para kritikus Marxis akan menunjukan bahwa disfungsi/gangguan di dalam keluarga pun merupakan produk dari sistem sosial ekonomi dan ideologi-ideologi yang berlaku di dalam sistem tersebut.

Marxisme dan sastra

Tema keluarga seringkali muncul dalam karya sastra, jadi mari kita mulai pembahasan kita mengenai Marxisme dan sastra dengan membandingkan pembacaan Marxis dan psikoanalisis terhadap drama keluarga karya Arthur Miller yang berjudul Death of a Salesman (1949). Pembacaan psikoanalisis terhadap drama tersebut akan menitikberatkan pada elemen-elemen seperti pengabaian yang dirasakan oleh Willy sejak ia kecil oleh ayah dan kakak laki-lakinya; penolakan Willy terhadap realitas yang kemudian diproyeksikan pada anak laki-lakinya Biff; pesaingan saudara antara Happy dan Biff; penolakan dan pemindahan permasalahan sebenarnya dengan Willy yang dilakukan oleh Linda. Adegan utama yang akan digunakan sebagai media interpretasi dalam proses pembacaan psikoanalisis adalah konfrontasi Biff dengan Willy di hotel, yaitu pada saat ia menemukan ayahnya bersama perempuan lain. Aspek-aspek drama, sebagaimana yang tercantum di atas, merupakan elemen yang paling menarik bagi para kritikus psikoanalisis karena para kritikus psikoanalisis lebih berfokus pada kondisi psikologi masing-masing individu sebagai produk dari sebuah keluarga. Pembacaan Marxis sebaliknya akan menitikberatkan pada permasalahan-permasalahan psikologis yang diakibatkan oleh kondisi materi/historis: ideologi American dream yang mengatakan pada Willy bahwa harga dirinya hanya dapat diperoleh melalui keberhasilan ekonomi, dan ideologi tersebut pun yang memaksa Willy untuk terus melihat ke atas, berkaca pada saudaranya Ben yang jauh lebih sukses; ideologi konsumerisme yang membuat keluarga Loman membeli barang-barang yang sebenarnya mereka tidak mampu beli dengan cara kredit; kerasnya daya saing bisnis dunia yang tetap menempatkan Willy pada pekerjaan komisi setelah tiga puluh tahun ia mengabdi pada suatu perusahaan; potensi tindakan eksploitatif dari suatu sistem sosio-ekonomi yaitu dimana tidak seluruh perusahaan perlu menyediakan dana pensiun yang cukup bagi karyawannya; dan ideologi kapitalisme "yang kuat akan bertahan" yang menyebabkan Howard memecat Willy tanpa memperdulikan dampak tersebut terhdap kondisi mental Willy yang memang sudah terganggu. Adegan utama yang digunakan sebagai interpretasi dalam proses pembacaan Marxis adalah ketika Howard (setelah menunjukan tanda-tanda keberhasilannya secara ekonomi) memecat Willy, dan menyuruh Willy untuk meminta bantuan keuangan pada anak-anaknya.

Sangat jelas bahwa pendekatan Marxis menggunakan konsep psikoanalisis dalam proses interpretasinya. Contohnya adalah penyangkalan Willy terhadap kenyataan dan halusinasi-halusinasi regresif yang ia alami dipandang sebagai bukti nyata dari agenda ideologis American dream yang bedampak melemahkan pada kondisi psikologis seseorang: American dream tentu saja baik bagi para pelaku ekonomi kapitalis, tetapi bersamaan dengan hal tersebut, kesejahteraan banyak orang harus dikorbankan, khususnya orang-orang yang tidak mampu mewujudkan mimpi tersebut.

Bagi Marxisme, sastra bukanlah suatu objek yang berada dalam ranah estetik dan tidak mengenal batas waktu sehingga perlu direnungkan secara pasif, tetapi sebagaimana manifestasi budaya lainnya, sastra adalah produk dari keadaan sosio-ekonomi, yaitu kondisi ideologi pada saat dan tempat dimana karya sastra tersebut ditulis. Karena manusia sendiri adalah produk dari kondisi sosio-ekonomi dan ideologi, maka diasumsikan bahwa para penulis tidak dapat membuat suatu karya yang tidak menyertakan unsur-unsur ideologi itu sendiri.

Fakta bahwa sastra tumbuh dan mencerminkan kondisi materi/historis yang sesungguhnya memunculkan setidaknya dua hal menarik bagi para kritikus Marxis: (1) karya sastra cenderung memperkuat unsur-unsur ideologi yang terkandung di dalamnya kepada pembaca, atau (2) karya sastra mengundang pembaca untuk mengkritisi ideologi-ideologi yang termuat di dalam karya sastra tersebut. Sebagian besar teks memainkan peran keduanya.

 Terkadang tidak hanya semata-mata isi atau tema karya sastra saja yang membawa unsur-unsur ideologi, tetapi juga bentuk dari karya sastra tersebut. Realisme, naturalisme, surealisme, simbolisme, modernisme, posmodernisme, tragedi, komedi satir, dan genre-genre serta unsur-unsur intrinsik sastra lainnya adalah sarana yang didasari konsep-konsep ideologi. Pertanyaannya adalah, bagaimana genre suatu karya sastra dapat memuat unsur ideologi?

Realisme misalnya. Genre sastra realisme memberikan gambaran mengenai karakter dan rentetan peristiwa secara nyata, seolah-olah kita menyaksikannya langsung di depan mata kita. Perhatian kita ditujukan untuk mengarah pada tindakan-tindakan yang disampaikan melalui kata-kata, kita malah terkadang lupa pada kata-kata yang sedang kita baca, karena narasi memang disusun sedemikian rupa agar kita "tersesat" di dalam cerita. Sebagian alasan kita tidak menyadari bahasa dan strutur yang tertuang dalam suatu karya sastra beraliran realisme karena tindakan direpresentasikan dan disusun dalam suatu urutan koheran yang mengajak kita untuk menghubungkan tindakan tersebut dengan peristiwa nyata yang terjadi dalam kehidupan kita pribadi, dan karakter-karakter yang digambarkan dalam cerita sangat mirip dengan orang-orang yang mungkin pernah kita temui. Sehingga kita merasa bahwa diri kita "terdorong masuk" ke dalam cerita.

Bagi sebagian kritikus Marxis, realisme adalah bentuk terbaik untuk menyampaikan tujuan-tujuan Marxis karena genre realis menggambarkan kembali dunia nyata secara jelas dan akurat, lengkap dengan seluruh ketidakadilan dalam sistem sosio-ekonimi dan kontradiksi ideologis, serta mengajak pembaca untuk melihat kenyataan yang tidak menyenangkan terkait realitas materi/historis, terlepas apakah penulis memberikan gambaran ketidakadilan dan kenyataan pahit tersebut secara sengaja maupun tidak. Para kritikus Marxis yang menggemari fiksi beraliran realis memiliki kecendurungan untuk meolak fiksi ekperimental bergenre non-realis karena tidak dapat diakses/dipahami oleh pembaca secara umum dan karena terlalu eksklusif terkait dengan cara kerja pikiran seseorang, alih-alih dari hubungan individu dengan masyarakat. Meskipun demikian, banyak kritikus Marxis lainnya yang justru sangat menghargai fiksi eksperimental non-realis, karena jenis fiksi tersebut menggambarkan fragmentasi pengalaman dan kerenggangan, yang mana dialami oleh sebagian pembaca, dan hal tersebut dianggap sebagai kritik terhadap kondisi dunia yang semakin terfragmentasi dan manusia yang semakin terasing sebagai akibat dari sistem ekonomi kapitalis yang berlaku pada saat ini.

Meskipun telah terjadi silang pendapat dalam waktu yang cukup lama diantara para kritikus Marxis tentang jenis karya satra seperti apa yang paling efektif dalam mempromosikan kesadaran sosial dan perubahan politik ke arah yang lebih positif, sebagian besar kritikus Marxis saat ini meyakini bahwa bahkan karya-karya sastra yang memperkuat nilai-nilai kapitalis, imperialis, dan unsur-unsur pengelompokan kelas lainnya justru sangat berguna, dalam arti bahwa karya-karya sastra tersebut dapat menunjukan kepada kita bagaimana cara kerja ideologi dalam memaksa kita untuk turut masuk ke dalam kolusi agenda ideologi represif. Novel Mary Shelley yang berjudul Frankenstein (1818) dapat dikategorikan sebagai sebuah karya yang memperkuat nilai-nilai pembagian kelas, yang mana di dalam novel tersebut digambarkan bahwa individu-individu yang terlahir dalam keluarga kelas atas secara moral dan intelektual lebih unggul dari mereka yang lahir dari kelurga kelas lebih rendah. Karakter-karakter yang berasal dari strata sosial bawah digambarkan dengan karakterisasi yang kasar, tidak sensitif, dan mudah marah. Sebaliknya, novel Toni Morrison yang berjudul The Bluest Eye (1970) justru meruntuhkan nilai-nilai pengelompokan kelas dengan menggambarkan ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat sosial kelas bawah dikarenakan pemaksaan ekonomi kapitalisme di Amerika di awal tahun 1940-an. Selain itu, dengan mengungkapkan bagaimana agama dan film-film fantasi telah merugikan masyarakat miskin dengan mendorong mereka untuk mengabaikan realita kehidupan mereka yang keras, alih-alih dari membentuk organisasi secara politik dan berjuang bersama demi hak-hak mereka dan kesetaraan, maka novel tersebut dapat dikategorikan sebagai novel yang memiliki agenda Marxis.

Referensi:

Tyson, Lois. Critical Theory Today, A User-Friendly Guide. New York: Routledge, 2002

No comments: