Alih
bahasa dari buku yang berjudul “Critical Theory Today” karya Lois Tyson.
Sadar atau tidak konsep psikoanalisis telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, dengan demikian pendekatan psikoanalisis seharusnya menjadi sesuatu yang tidak asing lagi. Apabila kita pernah jengkel kepada seorang teman dan berkata “Kok marah-marahnya jadi ke saya?!” Kita sedang menuduh teman kita melakukan “displacement” atau pemindahan, istilah psikoanalisis untuk situasi dimana seseorang memindahkan kemarahannya kepada orang lain (biasanya orang yang menjadi pelampiasan kemarahan adalah individu yang tidak dapat menyerang balik atau melukai sesakit orang yang telah benar-benar membuat kita marah). Konsep-konsep psikoanalisis seperti persaingan antar saudara (sibling rivalry), sikap rendah diri dan tertutup (inferiority complexes) dan mekanisme pertahanan (defense mechanism) adalah hal-hal yang telah kita praktekan dan pahami tanpa harus mengenal dan mengetahui makna dari istilah-istilah tersebut. Sayangnya kebanyakan dari kita hanya memiliki ide sederhana terkait konsep dari perilaku-perilaku umum sehari-hari, dan karena perilaku-perilaku tersebut terus berulang maka membahasnya terkesan dangkal dan tidak ada gunanya. Selain itu, sebagian besar orang mungkin merasa resah karena psikoanalisa akan menyerang sudut pribadi manusia yang paling dalam dan mengungkapkan penyimpangan (secara mental) yang mungkin terjadi. Wajar kiranya jika kita menolak jargon-jargon psikologis dalam psikoanalisa, dan berkesimpulan bahwa psikoanalisa adalah sebuah pendekatan yang tidak dapat dipahami dan bahkan hampa makna. Oleh karenanya, kita seringkali melihat penolakan secara terang-terangan terhadap psikoanalisa sebagai perangkat untuk memahami perilaku manusia.
Kalau saja kita
mau meluangkan sedikit waktu untuk memahami beberapa konsep dasar tentang
pengalaman manusia yang ditawarkan psikoanalisa, maka kita akan memahami bahwa
konsep-konsep psikoanalisis memang sewajarnya berlaku dalam kehidupan kita sehari-hari,
dan kita akan mulai mengerti bahwa beberapa perilaku manusia sampai hari ini
masih sangat menarik untuk dicermati. Ketika
psikoanalisa dapat membatu kita untuk lebih memahami perilaku manusia, maka
metode tersebut pun tentunya akan dapat membantu kita untuk memahami
naskah-naskah sastra yang juga mengisahkan tentang berbagai macam karakter
manusia. Konsep-konsep yang akan dibahas pada kesempatan kali ini adalah
prinsip-prinsip prikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud (1856-1939),
yang teori-terorinya lebih dikenal sebagai “classical
psychoanalysis”. Kita harus
mengingat bahwa dalam kurun waktu yang cukup lama Freud terus berusaha untuk
memperbaiki dan memperbaharui prinsip-prinsip psikoanalisisnya, dan dalam proses
perjalannya beberapa konsep memang mengalami perubahan. Selain itu, banyak dari pemikiran-pemikiran
Freud yang masih bersifat spekulatif. Ia berharap bahwa akan ada yang
meneruskan mengembangkan ide-idenya tersebut, dan bahkan mungkin mengoreksi
konsep-konsep tertentu dan memperbaharuinya dari waktu ke waktu. Di akhir
pembahasan, beberapa konsep dari pakar psikoanalisis modern Jacques Lacan pun
akan coba dimunculkan secara singkat.
Asal-Usul
Alam Bawah Sadar
Ketika kita
memandang dunia melalui lensa psikoanalisis, kita akan melihat bahwa dunia
terdiri dari individu-individu di dalamnnya, yang masing-masing individu
tersebut dilengkapi dengan sejarah psikologis yang telah dimulai sejak masa kanak-kanak, pola-pola menuju masa kedewasaan
dan perilaku dewasa yang merupakan hasil langsung dari pengalaman hidup yang
dijalani di tahun-tahun sebelumnya. Karena tujuan dari psikoanalisa adalah
untuk membatu kita dalam mengatasi permasalahan-permasalahan psikologis atau
yang biasa disebut kelainan atau gangguan mental (dan tidak ada dari kita yang
sepenuhnya terbebas dari permasalahan-permasalahan psikologis tersebut), maka
fokus utama akan dititikberatkan pada pola perilaku yang cenderung
destruktif. Dikatakan pola perilaku
karena pengulangan perilaku destruktif akan mengungkap adanya beberapa
permasalahan psikologis yang tanpa disadari mungkin telah berpengaruh secara
signifikan dalam kurun waktu yang cukup lama terhadap pola pikir dan
pengambilan sikap. Pada faktanya, ketika kita tidak meyadari akan adanya
permasalahan-permasalahan psikologis dalam diri kita atau ketika kita
mengetahuinya tetapi tidak sadar bahwa penyimpangan psikologis tersebut telah
mempengaruhi perilaku kita, maka sebenarnya kita telah dikendalikan oleh
disfungsi psikologis tersebut. Atas
alasan tersebut, kita harus memulai pembahasan dengan konsep sentral dari
seluruh pemikiran psikoanalisis yaitu keberadaan alam bawah sadar.
Sebagian kita mungkin pernah mendengar kata-kata bijak
“Kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita mau, tapi niscaya kita akan
mendapatkan apa yang kita butuhkan.” Rangkaian kata-kata tersebut apabila
disisipkan beberapa kata lainnya akan memberikan kita celah untuk berfikir
secara psikoanalisis: “Kita tidak selalu mendapatkan apa yang secara sadar kita mau, tetapi kita akan
mendapatkan apa yang secara tidak sadar
kita butuhkan.” Gagasan bahwa manusia secara tidak sadar dimotivasi atau bahkan
dikendalikan oleh keinginan, ketakutan, kebutuhan dan konflik dalam dirinya
adalah salah satu pemikiran radikal Sigmund Freud yang hingga saat ini masih
menginspirasi konsep-konsep psikoanalisis klasik lainnya.
Alam bawah sadar adalah ruang untuk menyimpan seluruh
pengalaman-pengalaman buruk, luka, rasa takut, perasaan bersalah dan konflik
yang belum terselesaikan, dimana seluruh kenangan pahit tersebut sedapat mungkin
kita kubur. Alam bawah sadar mulai terbentuk dalam diri kita ketika kita masih
sangat belia melalui fase “repression”,
mekanisme pertahanan psikologis yaitu memaksa menghapus peristiwa-peristiwa psikologis
yang tidak menyenangkan dari alam sadar
kita. Bagaimanapun represi tidak akan menghilangkan pengalaman yang menyakitkan
tersebut, sebaliknya memori-memori alam bawah sadar akan mengendalikan
pengalaman kita saat ini: tanpa mau mengakui pada diri kita sendiri, secara
tidak sadar kita selalu mengulangi kesalahan yang sama dikarenakan konflik
perasaan akibat penekanan terhadap pengalaman-pengalaman buruk dan emosi-emosi
yang menyakitkan. Oleh karena itu, bagi para pakar psikoanalisis, alam bawah
sadar bukanlah sekedar ruang pasif tempat menyimpan data-data netral, akan
tetapi kesatuan dinamis yang menghubungkan kita dengan tingkat kemanusiaan kita
yang paling dalam.
Sebelum kita menemukan cara untuk mengetahui dan mengakui
pada diri sendiri sebab-sebab utama dari penahanan/penekanan luka, rasa takut,
perasaan bersalah dan konfik-konflik yang belum terselesaikan, kita akan terus
bergantung pada rasa sakit yang belum pulih dengan cara membohongi diri
sendiri, memutarbalikan fakta, dan upaya menyamarkannya. Contohnya tanpa saya
sadari saya masih mengharapkan cinta yang tidak pernah saya dapatkan dari
almarhum ayah saya yang seorang pecandu alkohol, maka kemungkinan besar saya
akan memilih pasangan hidup/kekasih yang juga seorang pecandu alkohol agar saya
dapat menghidupkan kembali hubungan dengan ayah saya dan “pada saat ini” saya
berharap bahwa lelaki itu akan menunjukan rasa cintanya pada saya. Bahkan
ketika saya menyadari bahwa saya masih memiliki konflik psikologis dengan ayah
saya yang belum terselesaikan, kemungkinan saya akan terus menyangkalnya karena
yang saya hadapi sekarang bukan ayah saya.
Tentunya saya tidak akan dapat melihat kesamaan mendasar antara almarhum
ayah saya dengan kekasih saya: karena saya lebih berfokus pada
perbedaan-perbedaan yang dangkal (ayah saya berbadan tambun sedangkan kekasih
saya bertubuh tinggi). Dalam kata lain, saya akan mengalami perasaan yang sama
ketika saya mengharapkan perhatian dari ayah saya yang tak peduli dengan
mengharapkan perhatian dari kekasih saya sekarang. Saya sangat yakin bahwa saya
sangat mencintai kekasih saya, dan yang saya inginkan adalah kekasih saya
membalas rasa cinta saya.
Saya tidak menyadari bahwa apa yang sebenarnya saya
inginkan dari kekasih saya adalah sesuatu yang tidak pernah saya dapatkan dari
ayah saya. Saya berharap peran yang seharusnya dilakukan oleh ayah akan
digantikan oleh kekasih saya saat ini, saya harus berhasil mendapatkan perhatiannya,
khusunya ketika bentuk perhatian tersebut belum dirasa cukup (dia tidak pernah
bisa meyakinkan saya bahwa dia benar-benar mencintai saya maka saya akan
berfikir bahwa rasa tidak aman yang menghinggapi saya adalah bukti dari
ketdakpeduliannya), atau ketika kekasih saya dapat membuktikan kalau dia
benar-benar mencintai saya maka saya akan kehilangan rasa ketertarikan saya padanya,
karena seorang kekasih yang penuh perhatian tidak dapat memenuhi hasrat saya
untuk mengalami kembali rasa sakit yang diakibatkan pengabaian yang dilakukan
ayah saya pada waktu silam. Intinya adalah saya menginginkan sesuatu yang tidak
saya sadari dan tidak mungkin saya dapatkan yaitu perhatian dari almarhum ayah
saya. Adapun ketika ayah saya masih hidup, dan dia mengalami perubahan sikap
menjadi lebih penyayang, saya masih harus menyembuhkan luka-luka psikologis
yang pernah ditimbulkannya pada saat saya masih kanak-kanak, pada saat dimana
saya tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup.
Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa “keluarga” memainkan peranan yang sangat
penting dalam teori psikoanalisis karena masing-masing kita adalah produk dari
sebuah kondisi keluarga. Di satu sisi, alam bawah sadar terbentuk melalui apa
yang kita rasakan terkait posisi kita di dalam keluarga dan reaksi kita
terhadap definisi diri, misalnya: saya adalah seorang yang gagal; saya adalah
anak yang hebat, saya selalu dinomorduakan dari saudara saya, saya tidak
dicintai, atau saya adalah penyebab dari permasalahan-permasalahan yang
dihadapi orang tua saya. Konflik oedipal (persaingan antara anak laki-laki
dengan ayahnya untuk mendapatkan perhatian dari sang ibu atau sebaliknya
persaingan antara anak perempuan dengan ibunya untuk memperoleh perhatian lebih
dari sang ayah) dan ide-ide dalam teori klasik Freud (misalnya persaingan antar
saudara, penis envy, castration anxiety)
adalah semata-mata gambaran dari kondisi-kondisi dominan dimana konflik
keluarga biasanya muncul. Keadaan-keadaan tersebut menjadi titik awal bagi kita
untuk memahami perbedaan antar individu. Contohnya, di beberapa keluarga, “sibling rivalry,” persaingan antar
saudara (setiap anak berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian dan kasih
sayang dari orang tua) umum terjadi, atau bahkan dalam kasus yang lebih intens,
terjadi persaingan antara anak dengan orang tua. Seorang anak yang merasa
dinomorduakan dari saudara-saudaranya memiliki kecenderungan untuk tumbuh
menjadi orang tua yang mencemburui/bersaing dengan anaknya sendiri untuk
memperoleh perhatian dari istri/suaminya.
Perlu digarisbawahi bahwa konflik oedipal, persaingan
antar saudara dan hal-hal serupa lainnya digolongkan ke dalam tahap
perkembangan. Dengan kata lain, kita semua mengalaminya dan
pengalaman-pengalaman tersebut normal adanya, merupakan bagian yang wajar dari
perkembangan dan pendewasaan diri masing-masing individu. Akan tetapi ketika
kita gagal dam mengatasi konflik-konflik pada tahap perkembangan tersebut maka
permasalahan akan muncul. Ini adalah salah satu contoh yang banyak dialami oleh
para perempuan, misalnya saya sebagai seorang anak perempuan bersaing dengan
ibu saya untuk memperoleh perhatian dari ayah (konflik ini terekam dalam alam
bawah sadar saya dan terus tersimpan bahkan setelah salah satu atau kedua orang
tua telah saya meninggal dunia), maka kemungkinan besar saya akan memiliki
kecenderungan untuk tertarik pada lelaki yang telah memiliki kekasih atau bahkan
istri karena lelaki tersebut telah terikat dengan wanita lain. Kondisi ini akan
memungkinkan saya untuk mengulang pengalaman masa lalu dimana saya bersaing dengan
ibu saya, akan tetapi “untuk kali ini” saya yang menang. Padahal, tentu saja
saya tidak mendapatkan lelaki tersebut, dan kalaupun saya berhasil merebutnya
dari kekasih atau istrinya, pada saat itu pula minat saya pada lelaki tersebut
hilang. Hal inipun terjadi tanpa saya sadari bahwa ketertarikan saya pada
lelaki tersebut dikarenakan ia sudah terikat pada wanita lain. Ketika ia
berhasil saya miliki, maka lelaki tersebut tidak menarik lagi. Di sisi lain, apabila
saya berhasil memenangkan persaingan dengan ibu saya untuk medapatkan perhatian
lebih dari ayah (dimana perhatian tersebut mungkin diberikan oleh ayah saya
sebagai bentuk hukuman atau untuk menghindari ibu saya), maka kemungkinan saya
akan tertarik pada pria yang telah memiliki kekasih atau istri (dan pria
tersebut tampaknya tidak berencana untuk meninggalkan kekasih/istrinya), karena
saya merasa bahwa saya layak dihukum karena “mencuri/merebut” ayah dari ibu
saya. Perilaku-perilaku destruktif yang dijelaskan diatas hanya bisa diubah ketika
kita mengetahui/menyadari dorongan-dorongan psikologis yang melatarbelakangi
perilaku-peilaku tersebut.
Pertahanan,
Kegelisahan dan Permasalahan-Permasalahan Utama
Alam bawah sadar menahan
kita untuk mengenali perilaku-perilaku destruktif yang melekat dalam diri kita karena mau tidak mau perilaku-perilaku
tersebut merupakan bagian dari identitas pribadi kita. Selain itu, kita takut
dengan apa yang akan kita temukan ketika kita menganalisa perilaku-perilaku
tersebut secara mendalam – seringkali terhalang dengan mekanisme pertahanan (defences) yang kita bangun sendiri. Mekanisme
pertahanan adalah upaya agar seluruh konflik batin terus tersimpan di alam
bawah sadar. Dengan kata lain, pertahanan adalah proses dimana kita menyimpan,
menekan atau menyangkal permasalahan-permasalahan psikologis di masa lalu yang
belum terselesaikan untuk menghindari rasa sakit serta konsekwensi-konsekwensi
yang harus dihadapi ketika kita mengakui atau menyadarinya.
Mekanisme pertahanan
mencakup pemilihan persepsi/tanggapan (hanya mau
mendengar dan melihat hal-hal tertentu), pemilihan memori (merubah daya ingat
dengan mencoba melupakan kejadian-kejadian buruk yang pernah terjadi), penyangkalan
(meyakini bahwa tidak pernah terjadi permasalahan apapun atau seolah-seolah
permasalahan tersebut tidah pernah ada), penghindaran (menghindari
orang-orang atau situasi yang dapat membuat kita resah, yang membangkitkan
kembali pengalaman emosi di masa lalu), pemindahan (melampiaskan rasa sakit
hati, frustasi dan kemarahan pada orang lain dimana orang tersebut tidak akan menyerang balik atau melukai sesakit orang
yang telah benar-benar membuat kita marah), dan proyeksi (mengarahkan
rasa takut, bersalah atau permasalahan-permasalahan lainnya pada orang lain dan
kemudian memaki orang tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengingkari bahwa sesuangguhnya
perasaan dan permasalahan tersebut ada dalam diri kita sendiri).
Salah satu
mekanisme pertahanan yang paling kompleks yaitu regresi, kemunduran
sementara atau kembali pada kondisi psikologis sebelumnya, yang tidak hanya
dibayangkan tetapi dialami langsung. Regresi bisa berupa merasakan kembali
pengalaman buruk atau menyenangkan. Hal ini tergolong ke dalam mekanisme pertahanan
karena membawa pikiran jauh dari kesulitan yang dialami pada saat ini. Bagaimanapun regresi berbeda dari
mekanisme-mekanisme pertahanan lainnya karena regresi memungkinkan pembalikan
aktif, pengakuan terhadap pengalaman dan emosi yang ditekan, karena
kita hanya akan bisa merubah dampak dari rasa sakit ketika kita mengakui adanya
pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut. Oleh karena itu, regresi dapat
digunakan sebagai langkah pengobatan. Banyak diantara pengalaman-pengalaman
psikologis yang dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan meskipun tidak
secara pasti dikategorikan ke dalam salah satu mekanisme pertahanan misalnya fear
of intimacy. Rasa takut untuk terlibat secara emosional dengan individu
lain seringkali menjadi mekanisme pertahanan yang efektif, pertahanan yang kita
bangun tersebut akan mencegah kita untuk merasakan atau mempelajari luka
psikologis yang ada dalam diri kita karena mekanisme tersebut akan menjaga kita
pada titik aman, jarak emosional yang kita bangun dalam hubungan kita baik
dengan kekasih, pasangan hidup, anak atau sahabat akan meredam luka-luka batin
yang ada dalam diri kita untuk tidak muncul ke permukaan. Dengan tidak
mengijinkan diri kita untuk terlalu dekat dengan seseorang, kita melindungi
diri kita dari luka di masa lalu yang pernah kita alami. Penyangkalan pada diri
sendiri dengan terlibat dalam beberapa hubungan sekaligus, memutuskan hubungan
percintaan ketika hubungan tersebut baru akan bersemi, dan terlalu menyibukan
diri dan menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman adalah beberapa langkah
yang dapat kita lakukan untuk menjaga jarak emosional dengan orang-orang yang benar-benar
kita cintai. Akan tetapi mekanisme-mekanisme pertahanan yang kita bangun
terkadang dapat runtuh, dan pada saat itulah kegelisahan akan muncul.
Kegelisahan bisa menjadi gejala yang penting karena rasa cemas tersebut dapat
membantu kita dalam mengungkap permasalahan utama dalam diri kita. Berikut ini
adalah beberapa permasalahan utama terkait perasaan gelisah yang mungkin
ditimbulkan oleh permasalahan-permasalahan utama tersebut:
Fear of intimacy (rasa
takut untuk memiliki keterkaitan emosional yang mendalam dengan seseorang) –
keyakinan yang kuat bahwa kedekatan secara emosional akan membuat kita hancur,
maka hanya dengan menjaga jaraklah kita akan merasa aman dan mampu bertahan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya fear of intimacy dapat pula
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan. Apabila mekanisme pertahanan ini
berlangsung secara terus-menerus maka dapat dikategorikan sebagai permasalahan
utama.
Fear of abandonment (rasa
takut akan pengabaian) – keyakinan yang kuat bahwa sahabat dan orang-orang yang
kita cintai akan meninggalkan kita (physical abandonment), atau tidak
peduli pada kita (emotional abandonment).
Fear of betrayal (rasa
takut akan penghianatan) – rasa curiga terhadap sahabat dan orang-orang yang
kita cintai, misalnya prasangka bahwa mungkin saja orang-orang yang selama ini
kita sayangi berbohong, menertawai kita di belakang, atau dalam hubungan
asmara, muncul kecurigaan bahwa kekasih kita berselingkuh.
Low self-esteem (perasaan
rendah diri) – pendapat bahwa diri kita kurang berharga, oleh karenanya kita
tidak layak mendapat perhatian, dicintai dan seterusnya, dan memang kadangkala
kita merasa bahwa diri kita memang patut dihukum oleh kehidupan dengan cara
apapun.
Insecure or unstable
sense of self (ketidakstabilan diri/mudah terpengaruh) –
ketidakmampuan dalam mempertahankan pendapat, menunjukan identitas diri atau
sikap pribadi. Permasalahan utama ini menjadikan kita sebagai individu yang
begitu mudah dipengaruhi, dan kemungkinan kita akan terus-menerus berubah
mengikuti kebiasaan dan perilaku orang-orang yang sedang berada di sekeliling
kita.
Oedipal complex (odipus
kompleks) - disfungsi hubungan dengan
orang tua yang berlawanan gender, sehingga ketika kita dewasa kita tidak dapat
membangun hubungan yang matang dengan lawan jenis.
Sebagian dari kita mungkin memandang bahwa
permasalahan-permasalahan utama yang dibahas diatas memiliki keterkaitan satu
sama lain. Contohnya, seseorang yang memendam rasa takut akan pengabaian,
kemungkinan besar ia pun memiliki perasaan takut untuk terlibat secara
emosional dengan orang lain. Keyakinan saya bahwa pada akhirnya saya akan
ditinggalkan oleh semua orang yang saya sayangi akan mendorong saya untuk
menghindari keterkaitan emosional dengan siapa pun, karena kalau saya tidak
terlalu dekat dengan orang yang saya kasihi maka saya tidak akan terluka ketika
pada akhirnya kekasih saya meninggalkan/mengabaikan saya. Contoh lainnya yaitu ketika saya adalah
seseorang yang rendah diri maka kemungkinan besar saya pun akan memiliki
perasaan takut akan pengabaian. Keyakinan bahwa saya tidak layak dicintai pada
akhirnya akan mengarahkan saya pada pemikiran bahwa saya akan ditinggalkan oleh
orang-orang yang saya sayangi. Di sisi lain, perasaan rendah diri saya pun
dapat menghalangi saya dalam menjalin hubungan yang serius dengan seseorang.
Keyakinan bahwa diri saya lebih rendah dari orang lain mungkin akan menjadi
dinding pemisah dalam hubungan yang saya bangun dengan seseorang, yang dimana
orang tersebut tidak menyadari bahwa diri saya merasakan hal tersebut. Demikianlah
beberapa contoh dari permasalahan utama yang dapat berkaitan satu sama lain,
dalam fakta sehari-harinya, konektivitas permasalah-permasalahan utama tersebut
mungkin akan jauh lebih rumit dan beragam.
Yang perlu dicatat adalah, permasalahan-permasalahan utama mengungkapkan
jati diri kita yang sebenarnya. Permasalahan-permasalahan tersebut tidak muncul
sesaat atau tiba-tiba, misalnya ada kalanya kita merasa tidak percaya karena
tatanan rambut yang salah. Hal tersebut tidak mengindikasikan permasalahan utama
yang hinggap dalam diri seseorang. Permasalahan-permasalahan utama, apabila
tidak diselesaikan dengan baik, sifatnya permanen dan akan mempengaruhi hidup
kita selamanya yang terefleksi melalui tindakan-tindakan destruktif yang kerap
kali kita lakukan tanpa kita sadari. Dengan kata lain, kegelisahan yang kita
rasakan akan menjadi pertanda bahwa kita berada dalam situasi dimana
permasalahan utama dalam diri kita sedang terusik. Misalnya, saya merasa
gelisah dan kesal ketika salah satu teman saya pergi nonton ke bioskop dengan
teman saya yang lainnya, kondisi tersebut membawa saya untuk merasakan kembali
pengabaian yang dilakukan orang tua saya meskipun dua kejadian tersebut tidak ada
kaitannya sama sekali. Saya merasa terabaikan pada saat ini dikarenakan saya
terluka pada saat anak-anak atas pengabaian yang dilakukan orang tua saya, saya
merasa gelisah karena saya tidak mau mengakui pada diri sendiri bahwa orang tua
saya telah menelantarkan saya. Oleh karenanya, saya merasa terluka dan kesal
pada teman saya tanpa mengetahui secara sadar mengapa saya harus marah
kepadanya. Dalam kasus ini, kegelisahan
selalu melibatkan sesuatu yang telah kita pendam: Saya merasa gelisah karena
pengalaman menyakitkan, menakutkan dan perasaan bersalah yang coba saya tekan
atau ingkari, kembali muncul ke permukaan. Sebagai suatu bentuk terapi,
psikoanalisa akan mengontrol kegelisahan yang kita rasakan. Hal tersebut
dilakukan bukanlah untuk memperkuat mekanisme pertahanan kita atau memulihkan
adaptasi sosial kita, tetapi untuk menghancurkan mekanisme-mekanisme pertahanan
yang kita bangun dalam rangka merubah struktur dasar kepribadian kita dan cara
kita bertindak atau bereaksi terhadap suatu situasi.
Pada umumnya, mekanisme pertahanan akan
menghalangi kita untuk menyadari pengalaman alam bawah sadar, dan kegelisahan
yang kita alami biasanya tidak berhasil
menerobos masuk pada hal-hal yang coba kita redam. Apabila demikian, tanpa
bantuan psikoterapi, dapatkah kita mempelajari kinerja alam bawah sadar kita?
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, ketika kita berhasil mengenali
pola dari perilaku kita, maka kita akan menemukan beberapa petunjuk, khususnya
pada area hubungan interpersonal yang didalamnya mencakup hubungan asmara,
karena biasanya disinilah konflik lama yang belum terselesaikan di dalam
keluarga akan terulang kembali. Selain itu, kita akan memiliki akses untuk
memasuki alam bawah sadar kita apabila kita mengetahui bagaimana cara
menggunakannya melalui mimpi dan melalui aktivitas kreatif, karena baik mimpi
maupun kreativitas menggambarkan secara langsung alam bawah sadar kita.
Mimpi
dan Simbol Mimpi
Ada pendapat yang menyatakan bahwa ketika kita
tidur maka mekanisme pertahanan kita tidak bekerja sebagaimana halnya ketika
kita terjaga. Pada saat tidur, alam bawah sadar bebas untuk mengekspresikan
dirinya, dan hal serupa pun terjadi pada saat kita bermimpi. Akan tetapi, meski
di dalam mimpi, mekanisme pertahanan masih dapat bekerja dan oleh karenanya
kita mengalami yang disebut dengan distorsi mimpi. Melalui proses pemindahan (displacement)
atau kondensasi (condensation), pesan dalam alam bawah sadar yang kita
lihat pada saat kita bermimpi atau makna tersembunyi yang terkandung di dalam
mimpi telah mengalami perubahan sehingga kita tidak mengenalinya lagi. Dream
displacement terjadi ketika kita menggunakan individu, kejadian atau
objek aman sebagai pengganti dalam merepresentasikan individu, kejadian dan
objek sebenarnya yang jauh lebih mengancam. Misalnya, saya bermimpi bahwa salah
seorang guru di SMP telah melakukan pelecehan seksual terhadap saya untuk
mengekspresikan (dan di waktu yang sama menghindari) pengetahuan alam bawah
sadar saya bahwa salah satu orang tua saya yang telah melakukan perbuatan nista
tersebut terhadap saya. Kondensasi terjadi ketika kita menggunakan pencitraan
atau kejadian tunggal untuk merepresentasikan beberapa konflik dan luka dalam
alam bawah sadar. Saya bermimpi bertarung dengan beruang yang besar dan buas,
mimpi tersebut kemungkinan merepresentasikan pertarungan atau konflik
psikologis baik di rumah maupun tempat kerja. Untuk mengembangkan kedua contoh
diatas, mimpi bahwa saya telah dilecehkan oleh guru SMP saya mungkin
merepresentasikan perasaan alam bawah sadar saya bahwa harga diri saya
direndahkan oleh beberapa anggota keluarga, kerabat dan rekan kerja. Sebuah
kejadian dalam mimpi bisa merupakan produk dari pemindahan dan kondensasi
sekaligus. Karena pemindahan dan kondensasi terjadi pada saat kita bermimpi,
kedua proses tersebut secara bersamaan mengacu pada revisi primer. Karena revisi primer menyamarkan pesan-pesan
alam bawah sadar atau makna tersembunyi, maka yang hadir dalam mimpi kita
adalah manifestasi konten.
Kilasan-kilasan dalam mimpi yang dijelaskan sebelumnya
seperti gambaran guru SMP yang melakukan pelecehan seksual dan pertarungan
melawan beruang besar adalah beberapa contoh dari manifestasi konten.
Kilasan-kilasan dalam mimpi tersebut sebenarnya memiliki makna tersembunyi, dan
untuk mengetahui makna tersembunyi tersebut maka harus dilakukan penafsiran.
Apakah guru SMP saya mewakili salah satu orang tua saya atau gambaran mengenai
pelecehan seksual mewakili serangan verbal yang menjatuhkan harga diri saya? Apakan beruang yang buas merepresentasikan
konflik psikologis, dan apabila benar demikian lalu konflik yang mana? Dalam
menafsirkan mimpi, tujuan utamanya adalah untuk mengingat manifestasi konten
dan mencoba untuk mengungkap makna yang tersembunyi. Akan tetapi kita pun harus
menyadari bahwa secara tidak sadar kemungkinan besar kita akan memproteksi diri
kita dengan memodifikasi mimpi untuk menghindari diri kita menyadari sesuatu
hal yang terlalu menyakitkan untuk kita ketahui. Dalam beberapa kasus, kita akan melupakan
beberapa bagian dalam mimpi atau mengingat seluruh kejadian mimpi tetapi dengan
cara yang berbeda dengan yang sebenarnya terjadi. Proses ini dikenal dengan
istilah revisi sekunder (dan hal ini terjadi ketika kita telah berada
dalam kondisi terjaga).
Akan lebih mudah apabila kita menganggap manifestasi
konten sebagai simbolisme mimpi, dimana kita dapat menafsirkan simbol-simbol
tersebut sebagaimana kita mengartikan simbol-simbol pada umumnya. Hal penting
yang perlu diingat adalah suatu simbol tidak memiliki korespondensi langsung
pada makna tertentu, suatu simbol bisa memiliki makna yang sangat beragam. Selain
itu, ketika beberapa gambaran yang cenderung memiliki makna simbolis yang sama
bagi beberapa orang, setidaknya ketika
orang-orang tersebut berasal dari akar budaya yang sama, perlu diperhatikan
perbedaan dari masing-masing individu dalam merepresentasikan pengalaman alam
bawah sadar di dalam mimpi mereka. Oleh sebab itu, agar memungkinkan penafsiran
mimpi secara akurat, kita harus mempelajari bagaimana kecenderungan kita dalam
merepresentasikan ide, perasaan dan karakter tertentu di dalam mimpi kita dari
waktu ke waktu, dan kita harus memahami konteks ketika gambaran-gambaran dalam
mimpi tersebut muncul: apa yang terjadi sebelum, selama dan sesudah kita
mengalami mimpi tersebut.
Di dalam mimpi, pada umumnya akan muncul beberapa
karakter, dan karakter tersebut memang bagian dari pengalaman psikologis kita,
hanya saja dalam hal ini mereka tampil dalam wujud yang berbeda. Apabila saya
bermimpi bahwa kakak saya melahirkan bayi yang sudah mati, kemungkinan kakak
saya yang hadir dalam mimpi saya adalah pengganti dari diri saya sendiri yang
pada saat ini mengalami kegagalan dalam hubungan atau karir. Kemungkinan
lainnya saya adalah bayi yang mati tersebut karena pada saat ini saya merasa
diabaikan, tidak berdaya dan depresi. Contoh tersebut membuktikan bahwa mimpi
kita tentang anak-anak mengungkap sesuatu yang terkait dengan perasaan kita,
atau jiwa anak-anak yang masih ada dalam diri kita dan kemungkinan masih
terluka.
Terlepas betapa menyeramkan dan mengganggunya mimpi yang
kita alami, mimpi tersebut tetap menjadi penyaluran aman atas luka-luka alam bawah
sadar, ketakutan, perasaan bersalah dan konflik yang belum terselesaikan,
karena sebagaimana telah kita bahas sebelumnya mimpi menggambarkan kejadian
yang tersamarkan, dan kita dapat menafsirkannya apabila kita memang siap untuk
melakukan hal tersebut. Selain itu, ketika mimpi yang kita alami begitu
menakutkan, kita biasanya akan terbangun.
Akan tetapi, apabila mimpi buruk bahkan berlangsung ketika kita dalam
kondisi terjaga, hal tersebut mengindikasikan bahwa mekanisme pertahanan kita
sudah benar-benar runtuh, kegelisahan
yang kita rasakan sudah tidak dapat lagi terbendung, dan apabila kebenaran
tersembunyi yang kita tutup-tutupi terungkap baik secara tersamar atau diluar
kendali kita, berarti kita sedang berada dalam fase kritis atau trauma berat.
Psikoanalisa
Lacanian
Setelah sebelumnya dibahas mengenai teori psikoanalisis klasik yang biasa dijadikan sebagai standar pendekatan psikoanalisis dalam
menganalisa karya-karya sastra, maka selanjutnya akan dijelaskan secara
singkat mengenai teori psikoanalisis modern yang diprakarsai oleh seorang
psikoanalis asal Perancis bernama Jacques Lacan (1901 – 1981). Kaya Lacan cenderung abstrak, ambigu dan
sering kali sulit untuk dimengerti. Tetapi Lacan berkilah bahwa tulisan tentang
alam bawah sadar memang sewajarnya ambigu dan sulit untuk dimengerti karena alam
bawah sadar itu sendiri memang terkadang bermakna rancu (contohnya manifestasi
mimpi, perilaku dan karya seni pada umumnya memang bermakna ganda), dan alam
bawah sadar memang sulit untuk dimengerti. Dengan demikian karya-karya Lacan
pun ditafsirkan secara berbeda oleh beberapa tokoh. Dari waktu ke waktu, Lacan pun terkadang mengubah
makna dari terminologi-terminologi tertentu di dalam teorinya. Terlepas dari
tantangan yang cukup berarti untuk dapat memahami teori-teori Lacan, selayang
pandang mengenai konsep-konsep Lacan akan menjadi khazanah keilmuan tersendiri
mengingat teori Lacan pada saat ini mulai sering diterapkan dan beberapa
diantanya diaplikasikan secara keliru.
Untuk memahami konsep-konsep Lacan yang memiliki
relevansi dengan penafsiran sastra, kita perlu memulainya dengan teori Lacan
mengenai perkembangan psikologis pada seorang bayi. Menurut Lacan, di awal
bulan pertumbuhannya, bayi merasa bahwa diri dan lingkungan sekitarnya sebagai
massa yang acak, terfragmentasi dan tak berbentuk. Dan memang seorang bayi
tidak dapat membedakan diri dengan lingkungannya, dan tidak menyadari bagian
dari anggota tubuhnya sendiri, karena pada saat itu seorang bayi memang belum memiliki
pemahaman mengenai hal tersebut. Misalnya ibu jari kakinya menjadi suatu objek
yang menarik, ditempatkan di mulut dan seterusnya, seorang bayi menganggap ibu
jari kakinya adalah sebuah mainan atau objek lain yang ada di sekitarnya. Pada
usia sekitar 6-8 bulan, Lacan berpendapat bahwa bayi akan mengalami proses yang
disebut Mirror Stage. Hal ini terjadi baik ketika seorang bayi melihat
dirinya langsung di depan kaca atau memahami keberadaan dirinya melalui reaksi
yang ditunjukan oleh ibunya, dalam kata lain bayi memasuki tahapan dimana ia
menyadari keberadaan dirinya sebagai kesatuan yang utuh, dan tidak lagi massa
yang terfragmentasi dan tak berbentuk.
Tentu saja seorang bayi belum memiliki kata untuk
mendeskripsikan perasaannya tersebut, sehingga tahapan Mirror Stage masih bersifat pra-verbal. Setelah itu, seorang bayi
akan memasuki tahapan perkembangan yang disebut Imaginary Order, yaitu
susunan imajiner. Yang dimaksud dengan susunan imajiner bukanlah dunia imajinasi
melainkan dunia persepsi, yaitu masa dimana seorang anak memahami sesuatu
melalui gambaran yang bisa ia tangkap, bukannya melalui kata-kata. Masa
tersebut adalah masa yang lengkap dan menyenangkan bagi seorang anak, karena
dengan pengertiannya pada saat itu, ia
melihat dirinya sebagai kesatuan utuh yang mana pengertian ini memunculkan
ilusi bahwa ia sebagai pemegang kendali dari apapun yang berada di
sekelilingnya, dimana seorang bayi merasa dirinya adalah bagian yang tidak
terpisahkan baik dengan ibunya atau dengan siapa pun yang ia rasakan menjadi
satu kesatuan dengan dirinya: ibu saya adalah segala yang saya butuhkan dan
saya adalah segala yang ibu saya butuhkan.
Perlu diingat bahwa perasaan pra-verbal seorang anak
mengenai kesatuan utuh dengan sang ibu, sehingga ia merasa bahwa ia memegang
kendali penuh atas dunianya, adalah sebuah ilusi belaka. Lacan menyebut
pengalaman tersebut sebagai Desire of the Mother, yaitu hasrat
anak akan ibunya dan sebaliknya. Pada periode tersebut perasaan anak terhubung
dengan ibunya baik ketika merasa sehat maupun sakit, dan tahapan ini akan terus
berlangsung hingga akhirnya si anak mengenal bahasa yang bagi Lacan merupakan
periode terpenting. Lacan berpendapat bahwa proses pemerolehan bahasa pada
seorang anak adalah tahapan yang sangat penting, dan tahapan awal dalam
pemerolehan bahasa ia sebut dengan Symbolic Order (susunan simbolis), yaitu
sistem simbolis dari signifikasi atau sistem simbolis yang menyatakan makna.
Bersamaan dengan pemerolehan bahasa tersebut, seorang anak akan memahami bahwa
ia adalah seorang individu yang terpisah (“Saya” adalah “saya,” bukan “kamu”)
dan menyadari tentang jenis kelaminnya (saya adalah seorang anak peremuan,
bukan seorang anak laki-laki, atau sebaliknya).
Ketika kita memasuki fase Symbolic Order maka pada saat itu pula kita mengalami pemisahan
dengan yang lainnya, dan yang paling berat tentunya adalah perpisahan dengan
kesatuan kita yang terdekat yaitu ibu. Menurut Lacan, tahap perpisahan ini
merupakan pengalaman terpenting dalam perkembangan individu terkait rasa
kehilangan, yang mau tidak mau akan terus membayang-bayangi sepanjang usia
kita. Kita akan mencari pengganti dari hilangnya kesatuan dengan ibu kita.
Tanpa sadar kita akan menghabiskan masa hidup kita untuk mengisi rasa
kehilangan yang terjadi pada tahap Simbolic
Order tersebut. Mungkin saya akan merasakan kembali kegembiraan yang saya
alami sebelum memasuki tahap Simbolic
Order apabila saya menemukan pasangan yang sempurna, apabila saya bisa
memperoleh lebih banyak uang, apabila saya berpindah agama, apabila saya
menjadi lebih rupawan, apabila saya menjadi terkenal, apabila saya membeli
mobil mewah, rumah yang lebih besar atau apapun, akan tetapi kita tidak akan
pernah bisa merasa puas. Mengapa demikian? Menurut Lacan, hal tersebut terjadi
karena jenis pemenuhan diri yang kita cari adalah perasaan lengkap, merasa
dilimpahi dan penyatuan dengan ibu kita/dunia kita yang hilang pada saat kita
memasuki fase Symbolic Order atau
mengenal bahasa, dan seringkali tidak kita sadari.
Istilah yang digunakan Lacan untuk menggambarkan
pengalaman atas kehilangan objek yang sangat disayangi adalah object petit a, huruf a diakhir
frase merupahan kependekan dari autre,
kata dalam bahasa Perancis yang bermakna “lain”.
Beberapa pakar yang tertarik pada konsep psikoanalisa Lacan memiliki alasan
beragam mengapa Lacan memilih menggunakan istilah tersebut. Salah satu
penjelasannya yaitu, dalam memisahkan kita dengan dunia pra-verbal kita, atau
kesatuan ideal dengan ibu kita, Symbolic
Order merubah ibu kita menjadi objek “lain” (seseorang yang terpisah dari
kita) sebagaimana merubah hal-hal lainnya dalam dunia pra-verbal kita, dari
kesatuan utuh menjadi dunia dimana orang-orang dan hal-hal lainnya merupakan
bagian yang terpisah dari diri kita. Mengapa menggunakan huruf a
(autre: other/lain) kecil bukannya kapital?
Kemungkinannya karena hubungan kita dengan object petit a, objek yang sangat
kita sayangi sifatnya sangat personal dan individual sedangkan
pengalaman-pengalaman kita dalam Symbolic
Order tidak demikian. Object petit a
adalah objek kecil lainnya yang sepenuhnya milik saya, dan hanya akan
memberikan pengaruh terhadap saya seorang. Sebaliknya apabila huruf yang
digunakan adalah kapital (A, Autre), maka hal tersebut berpengaruh
pada semua orang.
Penggunaan bahasa pada umumnya memang menyiratkan
kehilangan atau kekurangan, karena saya tidak perlu kata-kata untuk
menggantikan hal-hal apabila saya masih merasa bahwa saya adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari hal-hal/benda-benda tersebut. Misalnya, saya membutuhkan kata selimut untuk mewakili kain tebal yang
saya pakai untuk menutupi tubuh saya di kala saya tidur karena saya telah
kehilangan pengalaman saya di masa lalu ketika saya merasa bahwa selimut saya
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari diri saya. Saya tidak akan membutuhkan
kata selimut untuk meruju pada kain
tebal tersebut apabila saya masih merasa bahwa saya dan selimut saya adalah
suatu kesatuan. Dengan demikian Symbolic
Order, atau dunia yang kita ketahui melalui bahasa, mengantarkan kita pada
dunia kehilangan. Saya tidak lagi suatu kesatuan dengan selimut saya, ibu saya,
dunia saya. Maka dari itu saya memerlukan kata-kata untuk merepresentasikan
konsep-konsep yang ingin saya sampaikan terkait hal-hal/benda-benda yang bukan
merupakan bagian dari diri saya tersebut.
Selain itu, Symbolic
Order menandai perpisahan antara pikiran sadar dan alam bawah sadar. Alam
bawah sadar pertama kali tercipta karena rasa kehilangan yang ditimbulkan
perpisahan kita dengan objek yang paling kita sayangi, pertama kali kita sadar
bahwa kita adalah individu yang terpisah dari yang lainnya. Adapun pernyataan Lacan yang paling banyak
dibicarakan yaitu “alam bawah sadar terstruktur/tersusun sebagaimana layaknya
bahasa.” Alam bawah sadar kita yang selalu ingin berusaha untuk menemukan objek
kesayangan kita yang telah hilang serupa dengan bahasa yang selalu mencari cara
untuk menuangkan objek/konsep/gagasan ke dalam kata-kata.
Alam bawah sadar pun terstruktur layaknya bahasa yang
dimana melibatkan kehilangan dan kekurangan. Menurut Lacan cara kerja alam
bawah sadar serupa dengan proses bahasa, contoh terdekat yang juga melibatkan
kehilangan dan kekuranga/ketiadaan yaitu majas metafora dan metonimi. Gaya
bahasa metafora terbentuk ketika suatu objek digunakan untuk mewakili objek
lainnya, meskipun kedua objek tersebut tidak memiliki persamaan, hal ini
dilakukan untuk memberi kesan perumpamaan/perbandingan. Mawar merah misalnya,
bisa digunakan sebagai metafora dari seorang kekasih. Meskipun secara
jelas-jelas mawar merah dan seorang kekasih jauh berbeda, tetapi kekasih saya
memiliki karakteristik yang hampir serupa dengan mawar merah: indah, lembut
ketika disentuh dan juga dapat melukai karena tangkai mawar yang berduri, dan
seterusnya. Gaya bahasa metonimi terjadi ketika sebuah objek diasosiasikan
dengan salah satu bagian dari objek tersebut atau objek lain untuk
menandakan/menggambarkan objek yang diasosiasikan secara utuh. Misalnya, “Menyamakan
persepsi tujuh kepala sekaligus tidaklah mudah,” kepala adalah metonimi dari orang. Yang menarik adalah baik dalam gaya bahasa
metafora maupun metonimi mengimplikasikan adanya kehilangan atau kekurangan:
baik metafora maupun metonimi mewakili sesuatu yang dipaksakan. Karakteristik
bunga mawar dan fungsi kepala untuk sementara waktu ditempatkan di barisan terdepan:
bukan individu-individu yang menggunakan kedua majas tersebut yang memerankan
fungsi untuk menggambarkan konsep-konsep yang dimaksudkan melainkan metafora
dan metonimi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya, Lacan
berkesimpulan bahwa metafora memiliki korelasi yang yang dekat dengan proses
alam bawah sadar yang disebut dengan kondensasi karena keduanya sama-sama
menggunakan hal yang berbeda guna mewakili objek lainnya. Sebagaimana telah
dijelaskan dalam sesi pembahasan “Mimpi dan Simbol Mimpi,” kondensasi terjadi
ketika kita mengganti seseorang atau objek yang kita maksud dengan individu dan
objek-objek lain yang jauh berbeda. Misalnya, saya bermimpi bahwa saya
dikejar-kejar oleh seekor singa yang sedang lapar, sedangkan pada kenyataannya
saya sedang dikejar-kejar oleh kreditur atau para karyawan saya yang merasa
tidak puas dan marah kepada saya. Adapun metonimi berhugungan erat dengan
proses alam bawah sadar yang disebut pemindahan karena keduanya mengganti
seseorang atau objek dengan pribadi atau objek lain yang masih memiliki kaitan
tertentu. Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam “Pertahanan, Kegelisahan dan
Permasalahan-Permasalahan Utama” serta “Mimpi dan Simbol Mimpi” bawa displacement/pemindahan
terjadi ketika kita memindahkan rasa sakit hati, frustasi dan kemarahan pada
orang lain dimana orang tersebut
tidak akan menyerang balik atau melukai sesakit orang yang telah benar-benar
membuat kita marah. Misalnya saya marah
kepada adik sepupu saya (seseorang yang posisinya berada di bawah/lebih rendah
dari saya) ketika sebenarnya saya sedang jengkel dengan atasan saya (seseorang
yang posisinya lebih tinggi dari saya).
Dari contoh-contoh yang dipaparkan, suatu hal selalu saja
dipaksakan untuk mewakili hal lainnya dengan
alasan latar belakang yang serupa. Dalam contoh lainnya, kita cenderung
mencari sesuatu yang telah hilang dari diri kita, tetapi kita tidak pernah bisa
menemukannya atau kita tidak pernah puas. Maka dari itu, dalam memasuki Simbolic Order atau dunia bahasa, kita
kembali masuk dalam dunia kehilangan dan ketiadaan. Kita telah meninggalkan Imaginary Order, dunia dimana kita
memiliki ilusi bahwa kita merasa bener-benar tercukupi dan memegang kendali
atas segalanya. Kita sekarang mendiami dunia dimana setiap individu di dalamnya
memiliki kebutuhan, keinginan dan perasaan-perasaan takut, dan dikarenakan hal
tersebut sering kali kita pun harus membatasi kebutuhan dan keinginan pribadi
kita. Tidak ada lagi fantasi mengenai kendali penuh. Symbolic Order adalah dunia baru dimana terdapat aturan-aturan yang
harus kita patuhi dan larangan-larangan yang harus kita taati.
Peran terbesar dari Symbolic
Order adalah dalam pembentukan persepsi mengenai diri kita sendiri sendiri.
Pada kenyataannya kita tidak seunik dan seindependen sebagaimana yang kita
fikir. Hasrat, keyakinan dan prasangka-prasangka dalam diri kita terbentuk pada
saat kita memasuki fase Symbolic Order,
dan fase tersebut diperkenalkan oleh orang tua kita sebagai hasil dari respon
mereka terhadap tahap Symbolic Order
yang mereka alami. Kita mungkin berfikir bahwa apa yang kita inginkan dalam hidup, atau apa yang
kita harapkan pada momen tertentu adalah hasil dari kepribadian kita yang unik,
kemauan dan penilaian kita pribadi. Bagaimanapun, kita memang diajarkan untuk
memiliki hasrat dalam hidup. Apabila kita tumbuh dalam suatu budaya yang
berbeda, dimana Symbolic Order yang
diperkenalkan pun berbeda, kemungkinan kita akan memiliki hasrat yang berbeda
pula. Dengan kata lain, Symbolic Order
terdiri dari ideologi-ideologi masyarakat: keyakinan, nilai-nilai, sistem
pemerintahan, hukum, pelaksanaan pendidikan, ajaran agama, dan seterusnya.
Respon kita terhadap ideologi-ideologi yang berkembang di masyarakatlah yang
menjadikan seperti apa diri kita sekarang.
Imaginary Order, fase dimana kita mengenal dunia pra-verbal, dunia
dimana kita memiliki ilusi mengenai perasaan puas dan kendali penuh, dunia
dimana kita meyakini bahwa hidup ibu kita semata-mata hanya untuk kita seorang
tidaklah kita tekan/redam. Sebaliknya, Imaginary
Order tetap ada dan melatar belakangi alam sadar kita, bahkan ketika Symbolic Order yang muncul kepermukaan. Symbolic Order mendominasi budaya dan
tatanan sosial, oleh karenanya seseorang yang tetap didominasi oleh Imaginary Order dianggap tidak berfungsi
baik di dalam tatanan masyarakat. Dengan
kata lain Imaginary Order yang
dilihat melalui kaca mata Symbolic Order
dapat diklasifikasikan sebagai kesalahan persepsi. Dengan demikian, Imaginary Order dianggap tidak sesuai
dengan norma-norma sosial dan ekspektasi-ekspetasi yang berlaku dalam Symbolic Order. Meski demikian, Imaginary Order adalah sumber kreativitas meskipun kita tidak
menyadarinya. Sebagian bahkan mungkin berpendapat bahwa Imaginary Order menjadi sangat penting karena Imaginary Order tidak
mengendalikan kehidupan kita layaknya Symbolic
Order. Ironisnya, meskipun Imaginary
Order tidak sepenuhnya mengendalikan kita, Imaginary Order dapat menjadi sumber perlawanan kita terhadap
sistem ideologi yang melandasi Symbolic
Order. Oleh karena itu, Lacan
berpendapat bahwa baik Symbolic Order
maupun Imaginary Order berusaha untuk
mengendalikan atau menghindari sesuatu yang nyata/Real.
Konsep-konsep Lacan mengenai Real terbilang sangat rumit, bahkan ia sendiri mengalami kesulitan
untuk memaparkannya. Secara sederhana, Real
dapat diartikan sebagai sesuatu yang berada di luar sistem pemberian makna,
berada di luar wilayah dimana ideologi sosial berlaku untuk mendefinisikan
keberadaan. Dimensi keberadaan Real
tidak dapat diinterpretasikan, oleh karenanya keberadaannya tanpa filter dan
intervensi dari sistem penetapan makna atau penandaan. Misalnya, Real adalah pengalaman yang kita
rasakan, kemungkinannya dapat setiap hari meskipun hanya muncul sesaat, ketika
kita merasa bahwa kehidupan ini tidak memiliki arti atau tujuan, ketika kita
menganggap bahwa seluruh agama dan aturan-aturan yang berlaku di masyarakat
adalah omong kosong atau palsu. Real hanya
terjadi pada saat kita memaknai keadaan melalui sudut pandang ideologi. Kita
dapat merasakan bahwa ideologi adalah tirai dimana seluruh kehidupan kita
tersulam di atasnya, dan kita mengetahui bahwa Real tersembunyi di balik tirai tersebut. Akan tetapi kita tidak
bisa melihat ke balik tirai. Real
adalah sesuatu yang tidak kita sadari, kita hanya dapat merasakan kegelisahan
yang terus-menerus mendera, maka disanalah Real berada. Maka dari itu Lacan
menyebut pengalaman tersebut sebagai trauma
of the Real. Kondisi ini
meresahkan karena melalui pengalaman tersebut kita menyadari bahwa makna-makna
yang diciptakan untuk kita hanyalah istilah-istilah yang terbangun di
masyarakat, dan kita menemukan fakta bahwa kita tidak memiliki tempat dalam sistem
penetapan makna-makna tersebut. Trauma of
the Real menyadarkan kita bahwa kita tidak memiliki kapasitas untuk
mengetahui dan menjelaskan realitas yang tersembunyi di balik ideologi-ideologi
yang diciptakan masyarakat, dan oleh sebab itu kita tidak memiliki kapasitas
untuk mengendalikannya.
Referensi:
Tyson, Lois. Critical Theory Today, A User-Friendly Guide. New York: Routledge,
2002
No comments:
Post a Comment