Wednesday, February 1, 2012

Pendekatan Psikoanalisis



Alih bahasa dari buku yang berjudul “Critical Theory Today” karya Lois Tyson.


Sadar atau tidak konsep psikoanalisis telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, dengan demikian pendekatan psikoanalisis seharusnya menjadi sesuatu yang tidak asing lagi. Apabila kita pernah jengkel kepada seorang teman dan berkata “Kok marah-marahnya jadi ke saya?!” Kita sedang menuduh teman kita melakukan “displacement” atau pemindahan, istilah psikoanalisis untuk situasi dimana seseorang memindahkan kemarahannya kepada orang lain (biasanya orang yang menjadi pelampiasan kemarahan adalah individu yang tidak dapat menyerang balik atau melukai sesakit orang yang telah benar-benar membuat kita marah). Konsep-konsep psikoanalisis seperti persaingan antar saudara (sibling rivalry), sikap rendah diri dan tertutup (inferiority complexes) dan mekanisme pertahanan (defense mechanism) adalah hal-hal yang telah kita praktekan dan pahami tanpa harus mengenal dan mengetahui makna dari istilah-istilah tersebut. Sayangnya kebanyakan dari kita hanya memiliki ide sederhana terkait konsep dari perilaku-perilaku umum sehari-hari, dan karena perilaku-perilaku tersebut terus berulang maka membahasnya terkesan dangkal dan tidak ada gunanya. Selain itu, sebagian besar orang mungkin merasa resah karena psikoanalisa akan menyerang sudut pribadi manusia yang paling dalam dan mengungkapkan penyimpangan (secara mental) yang mungkin terjadi. Wajar kiranya jika kita menolak jargon-jargon psikologis dalam psikoanalisa, dan berkesimpulan bahwa psikoanalisa adalah sebuah pendekatan yang tidak dapat dipahami dan bahkan hampa makna. Oleh karenanya, kita seringkali melihat penolakan secara terang-terangan terhadap psikoanalisa sebagai perangkat untuk memahami perilaku manusia.




Kalau saja kita mau meluangkan sedikit waktu untuk memahami beberapa konsep dasar tentang pengalaman manusia yang ditawarkan psikoanalisa, maka kita akan memahami bahwa konsep-konsep psikoanalisis memang sewajarnya berlaku dalam kehidupan kita sehari-hari, dan kita akan mulai mengerti bahwa beberapa perilaku manusia sampai hari ini masih sangat menarik untuk dicermati.  Ketika psikoanalisa dapat membatu kita untuk lebih memahami perilaku manusia, maka metode tersebut pun tentunya akan dapat membantu kita untuk memahami naskah-naskah sastra yang juga mengisahkan tentang berbagai macam karakter manusia. Konsep-konsep yang akan dibahas pada kesempatan kali ini adalah prinsip-prinsip prikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud (1856-1939), yang teori-terorinya lebih dikenal sebagai “classical psychoanalysis”.  Kita harus mengingat bahwa dalam kurun waktu yang cukup lama Freud terus berusaha untuk memperbaiki dan memperbaharui prinsip-prinsip psikoanalisisnya, dan dalam proses perjalannya beberapa konsep memang mengalami perubahan.  Selain itu, banyak dari pemikiran-pemikiran Freud yang masih bersifat spekulatif. Ia berharap bahwa akan ada yang meneruskan mengembangkan ide-idenya tersebut, dan bahkan mungkin mengoreksi konsep-konsep tertentu dan memperbaharuinya dari waktu ke waktu. Di akhir pembahasan, beberapa konsep dari pakar psikoanalisis modern Jacques Lacan pun akan coba dimunculkan secara singkat.




Asal-Usul Alam Bawah Sadar

Ketika kita memandang dunia melalui lensa psikoanalisis, kita akan melihat bahwa dunia terdiri dari individu-individu di dalamnnya, yang masing-masing individu tersebut dilengkapi dengan sejarah psikologis yang telah dimulai sejak masa  kanak-kanak, pola-pola menuju masa kedewasaan dan perilaku dewasa yang merupakan hasil langsung dari pengalaman hidup yang dijalani di tahun-tahun sebelumnya. Karena tujuan dari psikoanalisa adalah untuk membatu kita dalam mengatasi permasalahan-permasalahan psikologis atau yang biasa disebut kelainan atau gangguan mental (dan tidak ada dari kita yang sepenuhnya terbebas dari permasalahan-permasalahan psikologis tersebut), maka fokus utama akan dititikberatkan pada pola perilaku yang cenderung destruktif.  Dikatakan pola perilaku karena pengulangan perilaku destruktif akan mengungkap adanya beberapa permasalahan psikologis yang tanpa disadari mungkin telah berpengaruh secara signifikan dalam kurun waktu yang cukup lama terhadap pola pikir dan pengambilan sikap. Pada faktanya, ketika kita tidak meyadari akan adanya permasalahan-permasalahan psikologis dalam diri kita atau ketika kita mengetahuinya tetapi tidak sadar bahwa penyimpangan psikologis tersebut telah mempengaruhi perilaku kita, maka sebenarnya kita telah dikendalikan oleh disfungsi psikologis tersebut.  Atas alasan tersebut, kita harus memulai pembahasan dengan konsep sentral dari seluruh pemikiran psikoanalisis yaitu keberadaan alam bawah sadar.

Sebagian kita mungkin pernah mendengar kata-kata bijak “Kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita mau, tapi niscaya kita akan mendapatkan apa yang kita butuhkan.” Rangkaian kata-kata tersebut apabila disisipkan beberapa kata lainnya akan memberikan kita celah untuk berfikir secara psikoanalisis: “Kita tidak selalu mendapatkan apa yang secara sadar kita mau, tetapi kita akan mendapatkan apa yang secara tidak sadar kita butuhkan.” Gagasan bahwa manusia secara tidak sadar dimotivasi atau bahkan dikendalikan oleh keinginan, ketakutan, kebutuhan dan konflik dalam dirinya adalah salah satu pemikiran radikal Sigmund Freud yang hingga saat ini masih menginspirasi konsep-konsep psikoanalisis klasik lainnya.

Alam bawah sadar adalah ruang untuk menyimpan seluruh pengalaman-pengalaman buruk, luka, rasa takut, perasaan bersalah dan konflik yang belum terselesaikan, dimana seluruh kenangan pahit tersebut sedapat mungkin kita kubur. Alam bawah sadar mulai terbentuk dalam diri kita ketika kita masih sangat belia melalui fase “repression”, mekanisme pertahanan psikologis yaitu memaksa menghapus peristiwa-peristiwa psikologis yang tidak menyenangkan dari alam sadar kita. Bagaimanapun represi tidak akan menghilangkan pengalaman yang menyakitkan tersebut, sebaliknya memori-memori alam bawah sadar akan mengendalikan pengalaman kita saat ini: tanpa mau mengakui pada diri kita sendiri, secara tidak sadar kita selalu mengulangi kesalahan yang sama dikarenakan konflik perasaan akibat penekanan terhadap pengalaman-pengalaman buruk dan emosi-emosi yang menyakitkan. Oleh karena itu, bagi para pakar psikoanalisis, alam bawah sadar bukanlah sekedar ruang pasif tempat menyimpan data-data netral, akan tetapi kesatuan dinamis yang menghubungkan kita dengan tingkat kemanusiaan kita yang paling dalam.

Sebelum kita menemukan cara untuk mengetahui dan mengakui pada diri sendiri sebab-sebab utama dari penahanan/penekanan luka, rasa takut, perasaan bersalah dan konfik-konflik yang belum terselesaikan, kita akan terus bergantung pada rasa sakit yang belum pulih dengan cara membohongi diri sendiri, memutarbalikan fakta, dan upaya menyamarkannya. Contohnya tanpa saya sadari saya masih mengharapkan cinta yang tidak pernah saya dapatkan dari almarhum ayah saya yang seorang pecandu alkohol, maka kemungkinan besar saya akan memilih pasangan hidup/kekasih yang juga seorang pecandu alkohol agar saya dapat menghidupkan kembali hubungan dengan ayah saya dan “pada saat ini” saya berharap bahwa lelaki itu akan menunjukan rasa cintanya pada saya. Bahkan ketika saya menyadari bahwa saya masih memiliki konflik psikologis dengan ayah saya yang belum terselesaikan, kemungkinan saya akan terus menyangkalnya karena yang saya hadapi sekarang bukan ayah saya.  Tentunya saya tidak akan dapat melihat kesamaan mendasar antara almarhum ayah saya dengan kekasih saya: karena saya lebih berfokus pada perbedaan-perbedaan yang dangkal (ayah saya berbadan tambun sedangkan kekasih saya bertubuh tinggi). Dalam kata lain, saya akan mengalami perasaan yang sama ketika saya mengharapkan perhatian dari ayah saya yang tak peduli dengan mengharapkan perhatian dari kekasih saya sekarang. Saya sangat yakin bahwa saya sangat mencintai kekasih saya, dan yang saya inginkan adalah kekasih saya membalas rasa cinta saya. 

Saya tidak menyadari bahwa apa yang sebenarnya saya inginkan dari kekasih saya adalah sesuatu yang tidak pernah saya dapatkan dari ayah saya. Saya berharap peran yang seharusnya dilakukan oleh ayah akan digantikan oleh kekasih saya saat ini, saya harus berhasil mendapatkan perhatiannya, khusunya ketika bentuk perhatian tersebut belum dirasa cukup (dia tidak pernah bisa meyakinkan saya bahwa dia benar-benar mencintai saya maka saya akan berfikir bahwa rasa tidak aman yang menghinggapi saya adalah bukti dari ketdakpeduliannya), atau ketika kekasih saya dapat membuktikan kalau dia benar-benar mencintai saya maka saya akan kehilangan rasa ketertarikan saya padanya, karena seorang kekasih yang penuh perhatian tidak dapat memenuhi hasrat saya untuk mengalami kembali rasa sakit yang diakibatkan pengabaian yang dilakukan ayah saya pada waktu silam. Intinya adalah saya menginginkan sesuatu yang tidak saya sadari dan tidak mungkin saya dapatkan yaitu perhatian dari almarhum ayah saya. Adapun ketika ayah saya masih hidup, dan dia mengalami perubahan sikap menjadi lebih penyayang, saya masih harus menyembuhkan luka-luka psikologis yang pernah ditimbulkannya pada saat saya masih kanak-kanak, pada saat dimana saya tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup.

Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa “keluarga” memainkan peranan yang sangat penting dalam teori psikoanalisis karena masing-masing kita adalah produk dari sebuah kondisi keluarga. Di satu sisi, alam bawah sadar terbentuk melalui apa yang kita rasakan terkait posisi kita di dalam keluarga dan reaksi kita terhadap definisi diri, misalnya: saya adalah seorang yang gagal; saya adalah anak yang hebat, saya selalu dinomorduakan dari saudara saya, saya tidak dicintai, atau saya adalah penyebab dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi orang tua saya. Konflik oedipal (persaingan antara anak laki-laki dengan ayahnya untuk mendapatkan perhatian dari sang ibu atau sebaliknya persaingan antara anak perempuan dengan ibunya untuk memperoleh perhatian lebih dari sang ayah) dan ide-ide dalam teori klasik Freud (misalnya persaingan antar saudara, penis envy, castration anxiety) adalah semata-mata gambaran dari kondisi-kondisi dominan dimana konflik keluarga biasanya muncul. Keadaan-keadaan tersebut menjadi titik awal bagi kita untuk memahami perbedaan antar individu. Contohnya, di beberapa keluarga, “sibling rivalry,” persaingan antar saudara (setiap anak berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua) umum terjadi, atau bahkan dalam kasus yang lebih intens, terjadi persaingan antara anak dengan orang tua. Seorang anak yang merasa dinomorduakan dari saudara-saudaranya memiliki kecenderungan untuk tumbuh menjadi orang tua yang mencemburui/bersaing dengan anaknya sendiri untuk memperoleh perhatian dari istri/suaminya.

Perlu digarisbawahi bahwa konflik oedipal, persaingan antar saudara dan hal-hal serupa lainnya digolongkan ke dalam tahap perkembangan. Dengan kata lain, kita semua mengalaminya dan pengalaman-pengalaman tersebut normal adanya, merupakan bagian yang wajar dari perkembangan dan pendewasaan diri masing-masing individu. Akan tetapi ketika kita gagal dam mengatasi konflik-konflik pada tahap perkembangan tersebut maka permasalahan akan muncul. Ini adalah salah satu contoh yang banyak dialami oleh para perempuan, misalnya saya sebagai seorang anak perempuan bersaing dengan ibu saya untuk memperoleh perhatian dari ayah (konflik ini terekam dalam alam bawah sadar saya dan terus tersimpan bahkan setelah salah satu atau kedua orang tua telah saya meninggal dunia), maka kemungkinan besar saya akan memiliki kecenderungan untuk tertarik pada lelaki yang telah memiliki kekasih atau bahkan istri karena lelaki tersebut telah terikat dengan wanita lain. Kondisi ini akan memungkinkan saya untuk mengulang pengalaman masa lalu dimana saya bersaing dengan ibu saya, akan tetapi “untuk kali ini” saya yang menang. Padahal, tentu saja saya tidak mendapatkan lelaki tersebut, dan kalaupun saya berhasil merebutnya dari kekasih atau istrinya, pada saat itu pula minat saya pada lelaki tersebut hilang. Hal inipun terjadi tanpa saya sadari bahwa ketertarikan saya pada lelaki tersebut dikarenakan ia sudah terikat pada wanita lain. Ketika ia berhasil saya miliki, maka lelaki tersebut tidak menarik lagi. Di sisi lain, apabila saya berhasil memenangkan persaingan dengan ibu saya untuk medapatkan perhatian lebih dari ayah (dimana perhatian tersebut mungkin diberikan oleh ayah saya sebagai bentuk hukuman atau untuk menghindari ibu saya), maka kemungkinan saya akan tertarik pada pria yang telah memiliki kekasih atau istri (dan pria tersebut tampaknya tidak berencana untuk meninggalkan kekasih/istrinya), karena saya merasa bahwa saya layak dihukum karena “mencuri/merebut” ayah dari ibu saya. Perilaku-perilaku destruktif yang dijelaskan diatas hanya bisa diubah ketika kita mengetahui/menyadari dorongan-dorongan psikologis yang melatarbelakangi perilaku-peilaku tersebut.  

Pertahanan, Kegelisahan dan Permasalahan-Permasalahan Utama

Alam bawah sadar menahan kita untuk mengenali perilaku-perilaku destruktif yang melekat  dalam diri kita karena mau tidak mau perilaku-perilaku tersebut merupakan bagian dari identitas pribadi kita. Selain itu, kita takut dengan apa yang akan kita temukan ketika kita menganalisa perilaku-perilaku tersebut secara mendalam – seringkali terhalang dengan mekanisme pertahanan (defences) yang kita bangun sendiri. Mekanisme pertahanan adalah upaya agar seluruh konflik batin terus tersimpan di alam bawah sadar. Dengan kata lain, pertahanan adalah proses dimana kita menyimpan, menekan atau menyangkal permasalahan-permasalahan psikologis di masa lalu yang belum terselesaikan untuk menghindari rasa sakit serta konsekwensi-konsekwensi yang harus dihadapi ketika kita mengakui atau menyadarinya.

Mekanisme pertahanan mencakup pemilihan persepsi/tanggapan (hanya mau mendengar dan melihat hal-hal tertentu), pemilihan memori (merubah daya ingat dengan mencoba melupakan kejadian-kejadian buruk yang pernah terjadi), penyangkalan (meyakini bahwa tidak pernah terjadi permasalahan apapun atau seolah-seolah permasalahan tersebut tidah pernah ada), penghindaran (menghindari orang-orang atau situasi yang dapat membuat kita resah, yang membangkitkan kembali pengalaman emosi di masa lalu), pemindahan (melampiaskan rasa sakit hati, frustasi dan kemarahan pada orang lain dimana orang tersebut tidak akan menyerang balik atau melukai sesakit orang yang telah benar-benar membuat kita marah), dan proyeksi (mengarahkan rasa takut, bersalah atau permasalahan-permasalahan lainnya pada orang lain dan kemudian memaki orang tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengingkari bahwa sesuangguhnya perasaan dan permasalahan tersebut ada dalam diri kita sendiri).

Salah satu mekanisme pertahanan yang paling kompleks yaitu regresi, kemunduran sementara atau kembali pada kondisi psikologis sebelumnya, yang tidak hanya dibayangkan tetapi dialami langsung. Regresi bisa berupa merasakan kembali pengalaman buruk atau menyenangkan. Hal ini tergolong ke dalam mekanisme pertahanan karena membawa pikiran jauh dari kesulitan yang dialami pada saat ini.  Bagaimanapun regresi berbeda dari mekanisme-mekanisme pertahanan lainnya karena regresi memungkinkan pembalikan aktif, pengakuan terhadap pengalaman dan emosi yang ditekan, karena kita hanya akan bisa merubah dampak dari rasa sakit ketika kita mengakui adanya pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut. Oleh karena itu, regresi dapat digunakan sebagai langkah pengobatan. Banyak diantara pengalaman-pengalaman psikologis yang dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan meskipun tidak secara pasti dikategorikan ke dalam salah satu mekanisme pertahanan misalnya fear of intimacy. Rasa takut untuk terlibat secara emosional dengan individu lain seringkali menjadi mekanisme pertahanan yang efektif, pertahanan yang kita bangun tersebut akan mencegah kita untuk merasakan atau mempelajari luka psikologis yang ada dalam diri kita karena mekanisme tersebut akan menjaga kita pada titik aman, jarak emosional yang kita bangun dalam hubungan kita baik dengan kekasih, pasangan hidup, anak atau sahabat akan meredam luka-luka batin yang ada dalam diri kita untuk tidak muncul ke permukaan. Dengan tidak mengijinkan diri kita untuk terlalu dekat dengan seseorang, kita melindungi diri kita dari luka di masa lalu yang pernah kita alami. Penyangkalan pada diri sendiri dengan terlibat dalam beberapa hubungan sekaligus, memutuskan hubungan percintaan ketika hubungan tersebut baru akan bersemi, dan terlalu menyibukan diri dan menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman adalah beberapa langkah yang dapat kita lakukan untuk menjaga jarak emosional dengan orang-orang yang benar-benar kita cintai. Akan tetapi mekanisme-mekanisme pertahanan yang kita bangun terkadang dapat runtuh, dan pada saat itulah kegelisahan akan muncul. Kegelisahan bisa menjadi gejala yang penting karena rasa cemas tersebut dapat membantu kita dalam mengungkap permasalahan utama dalam diri kita. Berikut ini adalah beberapa permasalahan utama terkait perasaan gelisah yang mungkin ditimbulkan oleh permasalahan-permasalahan utama tersebut:

Fear of intimacy (rasa takut untuk memiliki keterkaitan emosional yang mendalam dengan seseorang) – keyakinan yang kuat bahwa kedekatan secara emosional akan membuat kita hancur, maka hanya dengan menjaga jaraklah kita akan merasa aman dan mampu bertahan. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya fear of intimacy dapat pula berfungsi sebagai mekanisme pertahanan. Apabila mekanisme pertahanan ini berlangsung secara terus-menerus maka dapat dikategorikan sebagai permasalahan utama.

Fear of abandonment (rasa takut akan pengabaian) – keyakinan yang kuat bahwa sahabat dan orang-orang yang kita cintai akan meninggalkan kita (physical abandonment), atau tidak peduli pada kita (emotional abandonment).

Fear of betrayal (rasa takut akan penghianatan) – rasa curiga terhadap sahabat dan orang-orang yang kita cintai, misalnya prasangka bahwa mungkin saja orang-orang yang selama ini kita sayangi berbohong, menertawai kita di belakang, atau dalam hubungan asmara, muncul kecurigaan bahwa kekasih kita berselingkuh.

Low self-esteem (perasaan rendah diri) – pendapat bahwa diri kita kurang berharga, oleh karenanya kita tidak layak mendapat perhatian, dicintai dan seterusnya, dan memang kadangkala kita merasa bahwa diri kita memang patut dihukum oleh kehidupan dengan cara apapun.

Insecure or unstable sense of self (ketidakstabilan diri/mudah terpengaruh) – ketidakmampuan dalam mempertahankan pendapat, menunjukan identitas diri atau sikap pribadi. Permasalahan utama ini menjadikan kita sebagai individu yang begitu mudah dipengaruhi, dan kemungkinan kita akan terus-menerus berubah mengikuti kebiasaan dan perilaku orang-orang yang sedang berada di sekeliling kita. 

Oedipal complex (odipus kompleks) -  disfungsi hubungan dengan orang tua yang berlawanan gender, sehingga ketika kita dewasa kita tidak dapat membangun hubungan yang matang dengan lawan jenis.

Sebagian dari kita mungkin memandang bahwa permasalahan-permasalahan utama yang dibahas diatas memiliki keterkaitan satu sama lain. Contohnya, seseorang yang memendam rasa takut akan pengabaian, kemungkinan besar ia pun memiliki perasaan takut untuk terlibat secara emosional dengan orang lain. Keyakinan saya bahwa pada akhirnya saya akan ditinggalkan oleh semua orang yang saya sayangi akan mendorong saya untuk menghindari keterkaitan emosional dengan siapa pun, karena kalau saya tidak terlalu dekat dengan orang yang saya kasihi maka saya tidak akan terluka ketika pada akhirnya kekasih saya meninggalkan/mengabaikan saya.  Contoh lainnya yaitu ketika saya adalah seseorang yang rendah diri maka kemungkinan besar saya pun akan memiliki perasaan takut akan pengabaian. Keyakinan bahwa saya tidak layak dicintai pada akhirnya akan mengarahkan saya pada pemikiran bahwa saya akan ditinggalkan oleh orang-orang yang saya sayangi. Di sisi lain, perasaan rendah diri saya pun dapat menghalangi saya dalam menjalin hubungan yang serius dengan seseorang. Keyakinan bahwa diri saya lebih rendah dari orang lain mungkin akan menjadi dinding pemisah dalam hubungan yang saya bangun dengan seseorang, yang dimana orang tersebut tidak menyadari bahwa diri saya merasakan hal tersebut. Demikianlah beberapa contoh dari permasalahan utama yang dapat berkaitan satu sama lain, dalam fakta sehari-harinya, konektivitas permasalah-permasalahan utama tersebut mungkin akan jauh lebih rumit dan beragam.

Yang perlu dicatat adalah,  permasalahan-permasalahan utama mengungkapkan jati diri kita yang sebenarnya. Permasalahan-permasalahan tersebut tidak muncul sesaat atau tiba-tiba, misalnya ada kalanya kita merasa tidak percaya karena tatanan rambut yang salah. Hal tersebut tidak mengindikasikan permasalahan utama yang hinggap dalam diri seseorang. Permasalahan-permasalahan utama, apabila tidak diselesaikan dengan baik, sifatnya permanen dan akan mempengaruhi hidup kita selamanya yang terefleksi melalui tindakan-tindakan destruktif yang kerap kali kita lakukan tanpa kita sadari. Dengan kata lain, kegelisahan yang kita rasakan akan menjadi pertanda bahwa kita berada dalam situasi dimana permasalahan utama dalam diri kita sedang terusik. Misalnya, saya merasa gelisah dan kesal ketika salah satu teman saya pergi nonton ke bioskop dengan teman saya yang lainnya, kondisi tersebut membawa saya untuk merasakan kembali pengabaian yang dilakukan orang tua saya meskipun dua kejadian tersebut tidak ada kaitannya sama sekali. Saya merasa terabaikan pada saat ini dikarenakan saya terluka pada saat anak-anak atas pengabaian yang dilakukan orang tua saya, saya merasa gelisah karena saya tidak mau mengakui pada diri sendiri bahwa orang tua saya telah menelantarkan saya. Oleh karenanya, saya merasa terluka dan kesal pada teman saya tanpa mengetahui secara sadar mengapa saya harus marah kepadanya.  Dalam kasus ini, kegelisahan selalu melibatkan sesuatu yang telah kita pendam: Saya merasa gelisah karena pengalaman menyakitkan, menakutkan dan perasaan bersalah yang coba saya tekan atau ingkari, kembali muncul ke permukaan. Sebagai suatu bentuk terapi, psikoanalisa akan mengontrol kegelisahan yang kita rasakan. Hal tersebut dilakukan bukanlah untuk memperkuat mekanisme pertahanan kita atau memulihkan adaptasi sosial kita, tetapi untuk menghancurkan mekanisme-mekanisme pertahanan yang kita bangun dalam rangka merubah struktur dasar kepribadian kita dan cara kita bertindak atau bereaksi terhadap suatu situasi.

Pada umumnya, mekanisme pertahanan akan menghalangi kita untuk menyadari pengalaman alam bawah sadar, dan kegelisahan yang kita alami biasanya tidak  berhasil menerobos masuk pada hal-hal yang coba kita redam. Apabila demikian, tanpa bantuan psikoterapi, dapatkah kita mempelajari kinerja alam bawah sadar kita? Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, ketika kita berhasil mengenali pola dari perilaku kita, maka kita akan menemukan beberapa petunjuk, khususnya pada area hubungan interpersonal yang didalamnya mencakup hubungan asmara, karena biasanya disinilah konflik lama yang belum terselesaikan di dalam keluarga akan terulang kembali. Selain itu, kita akan memiliki akses untuk memasuki alam bawah sadar kita apabila kita mengetahui bagaimana cara menggunakannya melalui mimpi dan melalui aktivitas kreatif, karena baik mimpi maupun kreativitas menggambarkan secara langsung alam bawah sadar kita.

Mimpi dan Simbol Mimpi

Ada pendapat yang menyatakan bahwa ketika kita tidur maka mekanisme pertahanan kita tidak bekerja sebagaimana halnya ketika kita terjaga. Pada saat tidur, alam bawah sadar bebas untuk mengekspresikan dirinya, dan hal serupa pun terjadi pada saat kita bermimpi. Akan tetapi, meski di dalam mimpi, mekanisme pertahanan masih dapat bekerja dan oleh karenanya kita mengalami yang disebut dengan distorsi mimpi. Melalui proses pemindahan (displacement) atau kondensasi (condensation), pesan dalam alam bawah sadar yang kita lihat pada saat kita bermimpi atau makna tersembunyi yang terkandung di dalam mimpi telah mengalami perubahan sehingga kita tidak mengenalinya lagi.  Dream displacement terjadi ketika kita menggunakan individu, kejadian atau objek aman sebagai pengganti dalam merepresentasikan individu, kejadian dan objek sebenarnya yang jauh lebih mengancam. Misalnya, saya bermimpi bahwa salah seorang guru di SMP telah melakukan pelecehan seksual terhadap saya untuk mengekspresikan (dan di waktu yang sama menghindari) pengetahuan alam bawah sadar saya bahwa salah satu orang tua saya yang telah melakukan perbuatan nista tersebut terhadap saya. Kondensasi terjadi ketika kita menggunakan pencitraan atau kejadian tunggal untuk merepresentasikan beberapa konflik dan luka dalam alam bawah sadar. Saya bermimpi bertarung dengan beruang yang besar dan buas, mimpi tersebut kemungkinan merepresentasikan pertarungan atau konflik psikologis baik di rumah maupun tempat kerja. Untuk mengembangkan kedua contoh diatas, mimpi bahwa saya telah dilecehkan oleh guru SMP saya mungkin merepresentasikan perasaan alam bawah sadar saya bahwa harga diri saya direndahkan oleh beberapa anggota keluarga, kerabat dan rekan kerja. Sebuah kejadian dalam mimpi bisa merupakan produk dari pemindahan dan kondensasi sekaligus. Karena pemindahan dan kondensasi terjadi pada saat kita bermimpi, kedua proses tersebut secara bersamaan mengacu pada revisi primer. Karena revisi primer menyamarkan pesan-pesan alam bawah sadar atau makna tersembunyi, maka yang hadir dalam mimpi kita adalah manifestasi konten.

Kilasan-kilasan dalam mimpi yang dijelaskan sebelumnya seperti gambaran guru SMP yang melakukan pelecehan seksual dan pertarungan melawan beruang besar adalah beberapa contoh dari manifestasi konten. Kilasan-kilasan dalam mimpi tersebut sebenarnya memiliki makna tersembunyi, dan untuk mengetahui makna tersembunyi tersebut maka harus dilakukan penafsiran. Apakah guru SMP saya mewakili salah satu orang tua saya atau gambaran mengenai pelecehan seksual mewakili serangan verbal yang menjatuhkan harga diri saya?  Apakan beruang yang buas merepresentasikan konflik psikologis, dan apabila benar demikian lalu konflik yang mana? Dalam menafsirkan mimpi, tujuan utamanya adalah untuk mengingat manifestasi konten dan mencoba untuk mengungkap makna yang tersembunyi. Akan tetapi kita pun harus menyadari bahwa secara tidak sadar kemungkinan besar kita akan memproteksi diri kita dengan memodifikasi mimpi untuk menghindari diri kita menyadari sesuatu hal yang terlalu menyakitkan untuk kita ketahui.  Dalam beberapa kasus, kita akan melupakan beberapa bagian dalam mimpi atau mengingat seluruh kejadian mimpi tetapi dengan cara yang berbeda dengan yang sebenarnya terjadi. Proses ini dikenal dengan istilah revisi sekunder (dan hal ini terjadi ketika kita telah berada dalam kondisi terjaga).

Akan lebih mudah apabila kita menganggap manifestasi konten sebagai simbolisme mimpi, dimana kita dapat menafsirkan simbol-simbol tersebut sebagaimana kita mengartikan simbol-simbol pada umumnya. Hal penting yang perlu diingat adalah suatu simbol tidak memiliki korespondensi langsung pada makna tertentu, suatu simbol bisa memiliki makna yang sangat beragam. Selain itu, ketika beberapa gambaran yang cenderung memiliki makna simbolis yang sama bagi beberapa orang,  setidaknya ketika orang-orang tersebut berasal dari akar budaya yang sama, perlu diperhatikan perbedaan dari masing-masing individu dalam merepresentasikan pengalaman alam bawah sadar di dalam mimpi mereka. Oleh sebab itu, agar memungkinkan penafsiran mimpi secara akurat, kita harus mempelajari bagaimana kecenderungan kita dalam merepresentasikan ide, perasaan dan karakter tertentu di dalam mimpi kita dari waktu ke waktu, dan kita harus memahami konteks ketika gambaran-gambaran dalam mimpi tersebut muncul: apa yang terjadi sebelum, selama dan sesudah kita mengalami mimpi tersebut.

Di dalam mimpi, pada umumnya akan muncul beberapa karakter, dan karakter tersebut memang bagian dari pengalaman psikologis kita, hanya saja dalam hal ini mereka tampil dalam wujud yang berbeda. Apabila saya bermimpi bahwa kakak saya melahirkan bayi yang sudah mati, kemungkinan kakak saya yang hadir dalam mimpi saya adalah pengganti dari diri saya sendiri yang pada saat ini mengalami kegagalan dalam hubungan atau karir. Kemungkinan lainnya saya adalah bayi yang mati tersebut karena pada saat ini saya merasa diabaikan, tidak berdaya dan depresi. Contoh tersebut membuktikan bahwa mimpi kita tentang anak-anak mengungkap sesuatu yang terkait dengan perasaan kita, atau jiwa anak-anak yang masih ada dalam diri kita dan kemungkinan masih terluka. 

Terlepas betapa menyeramkan dan mengganggunya mimpi yang kita alami, mimpi tersebut tetap menjadi penyaluran aman atas luka-luka alam bawah sadar, ketakutan, perasaan bersalah dan konflik yang belum terselesaikan, karena sebagaimana telah kita bahas sebelumnya mimpi menggambarkan kejadian yang tersamarkan, dan kita dapat menafsirkannya apabila kita memang siap untuk melakukan hal tersebut. Selain itu, ketika mimpi yang kita alami begitu menakutkan, kita biasanya akan terbangun.  Akan tetapi, apabila mimpi buruk bahkan berlangsung ketika kita dalam kondisi terjaga, hal tersebut mengindikasikan bahwa mekanisme pertahanan kita sudah benar-benar runtuh,  kegelisahan yang kita rasakan sudah tidak dapat lagi terbendung, dan apabila kebenaran tersembunyi yang kita tutup-tutupi terungkap baik secara tersamar atau diluar kendali kita, berarti kita sedang berada dalam fase kritis atau trauma berat.

Psikoanalisa Lacanian

Setelah sebelumnya dibahas mengenai teori psikoanalisis klasik yang biasa dijadikan sebagai standar pendekatan psikoanalisis dalam menganalisa karya-karya sastra, maka selanjutnya akan dijelaskan secara singkat mengenai teori psikoanalisis modern yang diprakarsai oleh seorang psikoanalis asal Perancis bernama Jacques Lacan (1901 – 1981).  Kaya Lacan cenderung abstrak, ambigu dan sering kali sulit untuk dimengerti. Tetapi Lacan berkilah bahwa tulisan tentang alam bawah sadar memang sewajarnya ambigu dan sulit untuk dimengerti karena alam bawah sadar itu sendiri memang terkadang bermakna rancu (contohnya manifestasi mimpi, perilaku dan karya seni pada umumnya memang bermakna ganda), dan alam bawah sadar memang sulit untuk dimengerti. Dengan demikian karya-karya Lacan pun ditafsirkan secara berbeda oleh beberapa tokoh.  Dari waktu ke waktu, Lacan pun terkadang mengubah makna dari terminologi-terminologi tertentu di dalam teorinya. Terlepas dari tantangan yang cukup berarti untuk dapat memahami teori-teori Lacan, selayang pandang mengenai konsep-konsep Lacan akan menjadi khazanah keilmuan tersendiri mengingat teori Lacan pada saat ini mulai sering diterapkan dan beberapa diantanya diaplikasikan secara keliru.

Untuk memahami konsep-konsep Lacan yang memiliki relevansi dengan penafsiran sastra, kita perlu memulainya dengan teori Lacan mengenai perkembangan psikologis pada seorang bayi. Menurut Lacan, di awal bulan pertumbuhannya, bayi merasa bahwa diri dan lingkungan sekitarnya sebagai massa yang acak, terfragmentasi dan tak berbentuk. Dan memang seorang bayi tidak dapat membedakan diri dengan lingkungannya, dan tidak menyadari bagian dari anggota tubuhnya sendiri, karena pada saat itu seorang bayi memang belum memiliki pemahaman mengenai hal tersebut. Misalnya ibu jari kakinya menjadi suatu objek yang menarik, ditempatkan di mulut dan seterusnya, seorang bayi menganggap ibu jari kakinya adalah sebuah mainan atau objek lain yang ada di sekitarnya. Pada usia sekitar 6-8 bulan, Lacan berpendapat bahwa bayi akan mengalami proses yang disebut Mirror Stage. Hal ini terjadi baik ketika seorang bayi melihat dirinya langsung di depan kaca atau memahami keberadaan dirinya melalui reaksi yang ditunjukan oleh ibunya, dalam kata lain bayi memasuki tahapan dimana ia menyadari keberadaan dirinya sebagai kesatuan yang utuh, dan tidak lagi massa yang terfragmentasi dan tak berbentuk.

Tentu saja seorang bayi belum memiliki kata untuk mendeskripsikan perasaannya tersebut, sehingga tahapan Mirror Stage masih bersifat pra-verbal. Setelah itu, seorang bayi akan memasuki tahapan perkembangan yang disebut Imaginary Order, yaitu susunan imajiner. Yang dimaksud dengan susunan imajiner bukanlah dunia imajinasi melainkan dunia persepsi, yaitu masa dimana seorang anak memahami sesuatu melalui gambaran yang bisa ia tangkap, bukannya melalui kata-kata. Masa tersebut adalah masa yang lengkap dan menyenangkan bagi seorang anak, karena dengan  pengertiannya pada saat itu, ia melihat dirinya sebagai kesatuan utuh yang mana pengertian ini memunculkan ilusi bahwa ia sebagai pemegang kendali dari apapun yang berada di sekelilingnya, dimana seorang bayi merasa dirinya adalah bagian yang tidak terpisahkan baik dengan ibunya atau dengan siapa pun yang ia rasakan menjadi satu kesatuan dengan dirinya: ibu saya adalah segala yang saya butuhkan dan saya adalah segala yang ibu saya butuhkan.

Perlu diingat bahwa perasaan pra-verbal seorang anak mengenai kesatuan utuh dengan sang ibu, sehingga ia merasa bahwa ia memegang kendali penuh atas dunianya, adalah sebuah ilusi belaka. Lacan menyebut pengalaman tersebut sebagai Desire of the Mother, yaitu hasrat anak akan ibunya dan sebaliknya. Pada periode tersebut perasaan anak terhubung dengan ibunya baik ketika merasa sehat maupun sakit, dan tahapan ini akan terus berlangsung hingga akhirnya si anak mengenal bahasa yang bagi Lacan merupakan periode terpenting. Lacan berpendapat bahwa proses pemerolehan bahasa pada seorang anak adalah tahapan yang sangat penting, dan tahapan awal dalam pemerolehan bahasa ia sebut dengan Symbolic Order (susunan simbolis), yaitu sistem simbolis dari signifikasi atau sistem simbolis yang menyatakan makna. Bersamaan dengan pemerolehan bahasa tersebut, seorang anak akan memahami bahwa ia adalah seorang individu yang terpisah (“Saya” adalah “saya,” bukan “kamu”) dan menyadari tentang jenis kelaminnya (saya adalah seorang anak peremuan, bukan seorang anak laki-laki, atau sebaliknya).

Ketika kita memasuki fase Symbolic Order maka pada saat itu pula kita mengalami pemisahan dengan yang lainnya, dan yang paling berat tentunya adalah perpisahan dengan kesatuan kita yang terdekat yaitu ibu. Menurut Lacan, tahap perpisahan ini merupakan pengalaman terpenting dalam perkembangan individu terkait rasa kehilangan, yang mau tidak mau akan terus membayang-bayangi sepanjang usia kita. Kita akan mencari pengganti dari hilangnya kesatuan dengan ibu kita. Tanpa sadar kita akan menghabiskan masa hidup kita untuk mengisi rasa kehilangan yang terjadi pada tahap Simbolic Order tersebut. Mungkin saya akan merasakan kembali kegembiraan yang saya alami sebelum memasuki tahap Simbolic Order apabila saya menemukan pasangan yang sempurna, apabila saya bisa memperoleh lebih banyak uang, apabila saya berpindah agama, apabila saya menjadi lebih rupawan, apabila saya menjadi terkenal, apabila saya membeli mobil mewah, rumah yang lebih besar atau apapun, akan tetapi kita tidak akan pernah bisa merasa puas. Mengapa demikian? Menurut Lacan, hal tersebut terjadi karena jenis pemenuhan diri yang kita cari adalah perasaan lengkap, merasa dilimpahi dan penyatuan dengan ibu kita/dunia kita yang hilang pada saat kita memasuki fase Symbolic Order atau mengenal bahasa, dan seringkali tidak kita sadari.

Istilah yang digunakan Lacan untuk menggambarkan pengalaman atas kehilangan objek yang sangat disayangi  adalah object petit a, huruf a diakhir frase merupahan kependekan dari autre, kata dalam bahasa Perancis yang bermakna “lain”. Beberapa pakar yang tertarik pada konsep psikoanalisa Lacan memiliki alasan beragam mengapa Lacan memilih menggunakan istilah tersebut. Salah satu penjelasannya yaitu, dalam memisahkan kita dengan dunia pra-verbal kita, atau kesatuan ideal dengan ibu kita, Symbolic Order merubah ibu kita menjadi objek “lain” (seseorang yang terpisah dari kita) sebagaimana merubah hal-hal lainnya dalam dunia pra-verbal kita, dari kesatuan utuh menjadi dunia dimana orang-orang dan hal-hal lainnya merupakan bagian yang terpisah dari diri kita. Mengapa menggunakan huruf a (autre: other/lain) kecil bukannya kapital? Kemungkinannya karena hubungan kita dengan object petit a, objek yang sangat kita sayangi sifatnya sangat personal dan individual sedangkan pengalaman-pengalaman kita dalam Symbolic Order tidak demikian. Object petit a adalah objek kecil lainnya yang sepenuhnya milik saya, dan hanya akan memberikan pengaruh terhadap saya seorang. Sebaliknya apabila huruf yang digunakan adalah kapital (A, Autre), maka hal tersebut berpengaruh pada semua orang.

Penggunaan bahasa pada umumnya memang menyiratkan kehilangan atau kekurangan, karena saya tidak perlu kata-kata untuk menggantikan hal-hal apabila saya masih merasa bahwa saya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hal-hal/benda-benda tersebut.  Misalnya, saya membutuhkan kata selimut untuk mewakili kain tebal yang saya pakai untuk menutupi tubuh saya di kala saya tidur karena saya telah kehilangan pengalaman saya di masa lalu ketika saya merasa bahwa selimut saya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari diri saya. Saya tidak akan membutuhkan kata selimut untuk meruju pada kain tebal tersebut apabila saya masih merasa bahwa saya dan selimut saya adalah suatu kesatuan. Dengan demikian Symbolic Order, atau dunia yang kita ketahui melalui bahasa, mengantarkan kita pada dunia kehilangan. Saya tidak lagi suatu kesatuan dengan selimut saya, ibu saya, dunia saya. Maka dari itu saya memerlukan kata-kata untuk merepresentasikan konsep-konsep yang ingin saya sampaikan terkait hal-hal/benda-benda yang bukan merupakan bagian dari diri saya tersebut.

Selain itu, Symbolic Order menandai perpisahan antara pikiran sadar dan alam bawah sadar. Alam bawah sadar pertama kali tercipta karena rasa kehilangan yang ditimbulkan perpisahan kita dengan objek yang paling kita sayangi, pertama kali kita sadar bahwa kita adalah individu yang terpisah dari yang lainnya.  Adapun pernyataan Lacan yang paling banyak dibicarakan yaitu “alam bawah sadar terstruktur/tersusun sebagaimana layaknya bahasa.” Alam bawah sadar kita yang selalu ingin berusaha untuk menemukan objek kesayangan kita yang telah hilang serupa dengan bahasa yang selalu mencari cara untuk menuangkan objek/konsep/gagasan ke dalam kata-kata.

Alam bawah sadar pun terstruktur layaknya bahasa yang dimana melibatkan kehilangan dan kekurangan. Menurut Lacan cara kerja alam bawah sadar serupa dengan proses bahasa, contoh terdekat yang juga melibatkan kehilangan dan kekuranga/ketiadaan yaitu majas metafora dan metonimi. Gaya bahasa metafora terbentuk ketika suatu objek digunakan untuk mewakili objek lainnya, meskipun kedua objek tersebut tidak memiliki persamaan, hal ini dilakukan untuk memberi kesan perumpamaan/perbandingan. Mawar merah misalnya, bisa digunakan sebagai metafora dari seorang kekasih. Meskipun secara jelas-jelas mawar merah dan seorang kekasih jauh berbeda, tetapi kekasih saya memiliki karakteristik yang hampir serupa dengan mawar merah: indah, lembut ketika disentuh dan juga dapat melukai karena tangkai mawar yang berduri, dan seterusnya. Gaya bahasa metonimi terjadi ketika sebuah objek diasosiasikan dengan salah satu bagian dari objek tersebut atau objek lain untuk menandakan/menggambarkan objek yang diasosiasikan secara utuh. Misalnya, “Menyamakan persepsi tujuh kepala sekaligus tidaklah mudah,” kepala adalah metonimi dari orang.  Yang menarik adalah baik dalam gaya bahasa metafora maupun metonimi mengimplikasikan adanya kehilangan atau kekurangan: baik metafora maupun metonimi mewakili sesuatu yang dipaksakan. Karakteristik bunga mawar dan fungsi kepala untuk sementara waktu ditempatkan di barisan terdepan: bukan individu-individu yang menggunakan kedua majas tersebut yang memerankan fungsi untuk menggambarkan konsep-konsep yang dimaksudkan melainkan metafora dan metonimi.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya, Lacan berkesimpulan bahwa metafora memiliki korelasi yang yang dekat dengan proses alam bawah sadar yang disebut dengan kondensasi karena keduanya sama-sama menggunakan hal yang berbeda guna mewakili objek lainnya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam sesi pembahasan “Mimpi dan Simbol Mimpi,” kondensasi terjadi ketika kita mengganti seseorang atau objek yang kita maksud dengan individu dan objek-objek lain yang jauh berbeda. Misalnya, saya bermimpi bahwa saya dikejar-kejar oleh seekor singa yang sedang lapar, sedangkan pada kenyataannya saya sedang dikejar-kejar oleh kreditur atau para karyawan saya yang merasa tidak puas dan marah kepada saya. Adapun metonimi berhugungan erat dengan proses alam bawah sadar yang disebut pemindahan karena keduanya mengganti seseorang atau objek dengan pribadi atau objek lain yang masih memiliki kaitan tertentu. Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam “Pertahanan, Kegelisahan dan Permasalahan-Permasalahan Utama” serta “Mimpi dan Simbol Mimpi” bawa  displacement/pemindahan terjadi ketika kita memindahkan rasa sakit hati, frustasi dan kemarahan pada orang lain dimana orang tersebut tidak akan menyerang balik atau melukai sesakit orang yang telah benar-benar membuat kita marah. Misalnya saya marah kepada adik sepupu saya (seseorang yang posisinya berada di bawah/lebih rendah dari saya) ketika sebenarnya saya sedang jengkel dengan atasan saya (seseorang yang posisinya lebih tinggi dari saya).

Dari contoh-contoh yang dipaparkan, suatu hal selalu saja dipaksakan untuk mewakili hal lainnya dengan  alasan latar belakang yang serupa. Dalam contoh lainnya, kita cenderung mencari sesuatu yang telah hilang dari diri kita, tetapi kita tidak pernah bisa menemukannya atau kita tidak pernah puas. Maka dari itu, dalam memasuki Simbolic Order atau dunia bahasa, kita kembali masuk dalam dunia kehilangan dan ketiadaan. Kita telah meninggalkan Imaginary Order, dunia dimana kita memiliki ilusi bahwa kita merasa bener-benar tercukupi dan memegang kendali atas segalanya. Kita sekarang mendiami dunia dimana setiap individu di dalamnya memiliki kebutuhan, keinginan dan perasaan-perasaan takut, dan dikarenakan hal tersebut sering kali kita pun harus membatasi kebutuhan dan keinginan pribadi kita. Tidak ada lagi fantasi mengenai kendali penuh. Symbolic Order adalah dunia baru dimana terdapat aturan-aturan yang harus kita patuhi dan larangan-larangan yang harus kita taati.

Peran terbesar dari Symbolic Order adalah dalam pembentukan persepsi mengenai diri kita sendiri sendiri. Pada kenyataannya kita tidak seunik dan seindependen sebagaimana yang kita fikir. Hasrat, keyakinan dan prasangka-prasangka dalam diri kita terbentuk pada saat kita memasuki fase Symbolic Order, dan fase tersebut diperkenalkan oleh orang tua kita sebagai hasil dari respon mereka terhadap tahap Symbolic Order yang mereka alami. Kita mungkin berfikir bahwa apa  yang kita inginkan dalam hidup, atau apa yang kita harapkan pada momen tertentu adalah hasil dari kepribadian kita yang unik, kemauan dan penilaian kita pribadi. Bagaimanapun, kita memang diajarkan untuk memiliki hasrat dalam hidup. Apabila kita tumbuh dalam suatu budaya yang berbeda, dimana Symbolic Order yang diperkenalkan pun berbeda, kemungkinan kita akan memiliki hasrat yang berbeda pula. Dengan kata lain, Symbolic Order terdiri dari ideologi-ideologi masyarakat: keyakinan, nilai-nilai, sistem pemerintahan, hukum, pelaksanaan pendidikan, ajaran agama, dan seterusnya. Respon kita terhadap ideologi-ideologi yang berkembang di masyarakatlah yang menjadikan seperti apa diri kita sekarang.

Imaginary Order, fase dimana kita mengenal dunia pra-verbal, dunia dimana kita memiliki ilusi mengenai perasaan puas dan kendali penuh, dunia dimana kita meyakini bahwa hidup ibu kita semata-mata hanya untuk kita seorang tidaklah kita tekan/redam. Sebaliknya, Imaginary Order tetap ada dan melatar belakangi alam sadar kita, bahkan ketika Symbolic Order yang muncul kepermukaan. Symbolic Order mendominasi budaya dan tatanan sosial, oleh karenanya seseorang yang tetap didominasi oleh Imaginary Order dianggap tidak berfungsi baik di dalam tatanan masyarakat.  Dengan kata lain Imaginary Order yang dilihat melalui kaca mata Symbolic Order dapat diklasifikasikan sebagai kesalahan persepsi. Dengan demikian, Imaginary Order dianggap tidak sesuai dengan norma-norma sosial dan ekspektasi-ekspetasi yang berlaku dalam Symbolic Order.  Meski demikian, Imaginary Order adalah sumber kreativitas meskipun kita tidak menyadarinya. Sebagian bahkan mungkin berpendapat bahwa Imaginary Order menjadi sangat penting karena Imaginary Order tidak mengendalikan kehidupan kita layaknya Symbolic Order. Ironisnya, meskipun Imaginary Order tidak sepenuhnya mengendalikan kita, Imaginary Order dapat menjadi sumber perlawanan kita terhadap sistem ideologi yang melandasi Symbolic Order.  Oleh karena itu, Lacan berpendapat bahwa baik Symbolic Order maupun Imaginary Order berusaha untuk mengendalikan atau menghindari sesuatu yang nyata/Real.

Konsep-konsep Lacan mengenai Real terbilang sangat rumit, bahkan ia sendiri mengalami kesulitan untuk memaparkannya. Secara sederhana, Real dapat diartikan sebagai sesuatu yang berada di luar sistem pemberian makna, berada di luar wilayah dimana ideologi sosial berlaku untuk mendefinisikan keberadaan. Dimensi keberadaan Real tidak dapat diinterpretasikan, oleh karenanya keberadaannya tanpa filter dan intervensi dari sistem penetapan makna atau penandaan. Misalnya, Real adalah pengalaman yang kita rasakan, kemungkinannya dapat setiap hari meskipun hanya muncul sesaat, ketika kita merasa bahwa kehidupan ini tidak memiliki arti atau tujuan, ketika kita menganggap bahwa seluruh agama dan aturan-aturan yang berlaku di masyarakat adalah omong kosong atau palsu. Real hanya terjadi pada saat kita memaknai keadaan melalui sudut pandang ideologi. Kita dapat merasakan bahwa ideologi adalah tirai dimana seluruh kehidupan kita tersulam di atasnya, dan kita mengetahui bahwa Real tersembunyi di balik tirai tersebut. Akan tetapi kita tidak bisa melihat ke balik tirai. Real adalah sesuatu yang tidak kita sadari, kita hanya dapat merasakan kegelisahan yang terus-menerus mendera, maka disanalah Real berada. Maka dari itu Lacan menyebut pengalaman tersebut sebagai trauma of the Real. Kondisi ini meresahkan karena melalui pengalaman tersebut kita menyadari bahwa makna-makna yang diciptakan untuk kita hanyalah istilah-istilah yang terbangun di masyarakat, dan kita menemukan fakta bahwa kita tidak memiliki tempat dalam sistem penetapan makna-makna tersebut. Trauma of the Real menyadarkan kita bahwa kita tidak memiliki kapasitas untuk mengetahui dan menjelaskan realitas yang tersembunyi di balik ideologi-ideologi yang diciptakan masyarakat, dan oleh sebab itu kita tidak memiliki kapasitas untuk mengendalikannya.       

Referensi:
Tyson, Lois. Critical Theory Today, A User-Friendly Guide. New York: Routledge, 2002

No comments: